TIME / WAKTU
Author: anditaandante
Main Cast:
Lee Gikwang (B2ST)
Kim Hana (fictional character)
Support cast:
Find by your self
Genre:
Romance, sad, fantasy
Disclaimer:
This story is mine (inspired by Severely F.T Island's MV).
Lee Gikwang milik author = w = /ditendang beauties/
other fictional cast milik author.
Happy reading. Sorry for long plot and mistakes.
If you want to take it out, please take with full credits.
Happy reading. Sorry for long plot and mistakes.
If you want to take it out, please take with full credits.
Thank you.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Waktu. Tidak ada yang mempu mengaturnya selain Yang Maha Kuasa.
Benar memang, karena hanya Ia yang punya kehendak. Siapa yang tahu bagaimana
waktu berjalan? Siapa yang tahu kapan waktu akan terus berputar? Siapa yang
tahu kapan waktu akan berhenti? Dan siapa pula yang tahu kapan waktu bisa
terulang lagi? Tidak ada yang tahu pasti, kecuali Tuhan.
Begitu juga dengan kematian. Sebuah
peristiwa dimana seseorang akan mengakhiri petualangannya di dunia yang fana
ini. Tak ada satu pun yang dapat menebak pasti, kapan kematian akan menjemput.
Itu semua merupakan data rahasia milik Tuhan yang tak seorang pun dapat
mengetahui, bahkan mengintipnya.
Waktu dan kematian, dua hal yang
saling berkaitan dan sama-sama disembunyikan oleh Tuhan. Kapan kau akan mati?
Hanya waktu yang dapat menjawab. Ya, dia akan menjawab ketika kau sudah
mengalaminya dan hanya Tuhan yang dapat mengendalikan waktunya. Tidak ada yang
mampu mengelak dari dua kuasa Tuhan itu, waktu dan kematian.
Kematianmu kini kulihat sendiri
dengan mata kepalaku. Kau terbaring kaku di dalam gundukan tanah itu. Sendiri,
sepi, sunyi, dan dingin. Taburan bunga yang bertebaran di permukaan
gundukannya, menambah hawa duka yang mendalam bagiku. Nisan yang masih tampak
baru dengan ukiran namamu, menyesakkan dadaku. Ingin rasanya aku berteriak
memanggil kau untuk kembali.
Aku mengelus lembut wajahmu di dalam
foto hitam putih berfigura yang kubawa ketika mengantarmu ke tempat
peristirahatan ini. Air mataku tumpah ruah, tak mampu lagi kubendung. Kugenggam
kuat segumpal tanah. Penyesalan! Diriku penuh dengan penyesalan. Aku memang
bodoh, tak menjagamu dengan baik! Hanya satu hal yang berputar dipikiranku.
Seandainya aku bisa mengulang kembali waktu…
*Flashback[1]*
Aku sedang berdiri di depan gedung sebuah
hotel, menunggu seorang gadis bernama Hana. Sudah seminggu ini aku dan Hana
berpacaran. Malam ini, aku berniat mengajaknya makan malam di restoran yang
berkelas. Setidaknya ini untuk satu minggu pertama kami.
Setengah jam kemudian, aku melihat
seorang gadis berambut panjang dan memakai baju tebal di seberang jalan, tampak
mencari seseorang. Ah, aku rasa itu Hana. Kuputuskan untuk menghubunginya.
“Hai, Hana. Aku ada di seberang.”
Ucapku senang, ketika Hana mengangkat panggilanku.
“Ya, aku melihatmu.” sahutnya
sembari melambaikan tangan kearah ku.
“Tunggu sebentar! Biar aku saja yang
menjemputmu ke sana…”
“Eh, tidak perlu. Biar aku sendiri
saja yang menyeberang ke tempatmu…”
Ketika traffic light[2]
warna hijau menyala, Hana melangkahkan kakinya melewati jalan raya.
Ciiiiittt… Braaaakk! Sebuah
decitan disusul bunyi tubrukan itu begitu menyayat telinga. Mataku membulat dan
refleks berlari menuju Hana yang sudah tergeletak tak berdaya. Telepon genggam
yang ia pegang tadi berhamburan di atas aspal. Linangan darah segar tampak
mengalir dari kepalanya.
“Hana…” gumamku disela-sela isak
tangis. Aku memangku kepalanya. Berusaha menyadarkannya, tapi ia tak bergeming.
“Tidak, Hana. Jangan pergi! Ku
mohon…”
*Flashback[1]
selesai*
Sudah terlalu lama aku mematung di hadapan
gundukan tanah ini. Menangis dan menangis saja yang bisa kulakukan. Bahkan aku
tak menyadari bahwa kedua sahabat Hana, Kanae dan Mika sudah pergi sejak tadi.
Sebaiknya aku segera pergi meninggalkan tempat ini. Sejenak, aku menatap nisan
yang bertuliskan Kim Hana, 12 Februari 2012, kemudian meletakkan sebuah jam
antik bertali di sisi nisannya.
“Selamat tinggal, Hana...”
***
Lee Gikwang, pemuda yang sejak tadi
hanya memandang kosong makam kekasihnya itu kini melangkahkan kaki keluar dari
pemakaman. Ia tetap memeluk erat foto Hana yang berfigura itu. Langkahnya yang
gontai dan terus menundukkan kepala, menandakan ia tak sepenuh hati merelakan
kepergian Hana. Matanya yang tampak sembab sesekali masih berkaca-kaca.
Buk! Gikwang menabrak bahu
seseorang. Tepat disaat suara gemuruh dari langit menggema. Foto berfigura yang
dipegang Gikwang pun terjatuh.
“A… aku minta maaf. Aku tidak
bermaksud…”
Ucapan Gikwang terpotong ketika ia
mendongakkan kepala dan menatap seorang gadis yang ia tabrak. Gadis itu serupa
sekali dengan Hana. Matanya, pipinya, bibirnya, benar-benar identik. Air mata
Gikwang yang tadi sempat ia bendung, kini tumpah lagi. Terkejut, heran,
sekaligus sedih, begitulah ekspresi Gikwang berkata.
“Ya. Tak apa.” Sahut gadis itu sembari
memegangi bahunya.
“K…kau? Hana?!”
“Oh, dari mana kau tahu?”
Tanpa pikir panjang Gikwang memeluk
gadis yang memang serupa sekali dengan Hana itu. Tapi apa ia benar-benar Hana?
Atau hanya ilusi Gikwang saja?
“Hei, apa-apaan ini?!” Sungut gadis
itu setelah berhasil mendorong Gikwang hingga tersungkur.
“Huh, dasar tidak tahu sopan
santun!” Bentak gadis itu kemudian pergi begitu saja dan membiarkan Gikwang
menggantung dalam pikirannya.
Hana? Apa ia Hana?! Ah, tidak
mungkin! Batin Gikwang berkecamuk. Sesekali Gikwang mengucek kedua matanya,
memastikan kejadian yang barusan ia alami.
“Dimana fotonya?!” Ujar Gikwang
ketika ia hanya mendapati figura dari foto Hana tadi, sudah pecah
berkeping-keping. Ia memunguti perlahan pecahan kaca figura itu.
“Tidak! Ia tidak mungkin Hana…”
***
Keesokkan paginya, Gikwang bangun
dari tidurnya dengan kepala yang terasa nyeri. Ia bangkit dari tempat tidur
sambil memegangi kepala. Kemudian ia meraih telepon genggamnya yang sengaja diletakkan
di atas meja sebelah tempat tidurnya.
“Se…sepuluh? Hari ini tanggal sepuluh…?!”
Gikwang terkejut sendiri ketika ia
melihat tanggal di layar telepon genggamnya. 10 Februari 2012, begitulah
tanggal yang tertera. Aneh. Padahal Gikwang sama sekali tak menggantinya.
“Ba… bagaimana bisa…? Ini…?
Waktunya…?”
Pikiran Gikwang semakin berputar tak
karuan. Akhirnya ia putuskan untuk pergi menikmati suasana danau yang tak jauh
dari tempat tinggalnya. Kebetulan, hari ini ia tidak ada jam kuliah.
Gikwang duduk di atas tanah berumput
hijau, tepat di sisi danau. Udara sejuk menyentuh lembut kulitnya. Semilir
angin membuat rambut Gikwang terlihat sedikit berantakan. Beberapa helai rambut
poninya bahkan sampai menutupi sebelah matanya.
“Gikwang oppa[3],
sedang apa kau di sini?”
Gikwang terperanjat ketika seorang
gadis berambut sebahu langsung duduk di sisinya. Untuk apa Kanae kemari?
Batinnya. Ia merasa bingung.
“Menikmati pemandangan. Bagaimana
denganmu, Kanae?”
“Ah, aku sedang berlatih kasti.” Jawab
Kanae sambil menunjukkan sebuat pemukul kasti beserta bolanya ke Gikwang.
“Kanae, kau sedang apa? Cepat
kemari! Tugas kita belum selesai.” Teman Kanae memanggil.
“Tunggu sebentar, Miki! Oppa[3],
ayo ikut!”
“Eh, apa tidak mengganggu?”
“Tentu saja tidak. Ayo!” Kanae
menarik lengan Gikwang menuju tempat Miki.
“Miki, ini oppa[3]ku,
Gikwang.” Ujar Kanae ketika ia dan Gikwang berhadapan dengan Miki.
“Oh, annyeonghaseyo[4].
Namaku Miki. Senang bertemu denganmu.” Miki sedkit menundukkan kepalanya.
“Miki? Nama yang lucu…”
Semu merah diwajah Miki jelas
terlihat. Hal itu membuat Kanae jadi cekikikan geli.
“Oh ya, dimana sonbae[5]?”
Sonbae[5]? Batin
Gikwang sembari melihat sekeliling mencari keberadaan orang yang dimaksud
Kanae.
“Oh, sonbae[5],
kami ada di sini…” Kanae dan Miki menggoyangkan tangannya bersamaan. Tak lama, sonbae[5]
yang dimaksud Kanae tadi datang mendekat.
Hana? Bagaimana bisa? Gikwang
berkecamuk dalam hatinya. Matanya membulat, tubuhnya membeku, darahnya berdesir
cepat ketika ia melihat sosok gadis yang kemarin ia tabrak di depan pemakaman.
“Hana sonbae[5],
kenalkan, ini oppa[3]ku, Gikwang. Oppa[3],
sonbae[5] ini yang sering membantuku mengerjakan tugas. Kali
ini ia ingin mengajariku memukul bola kasti yang benar.”
“Kau? Bukankah kemarin kau yang menabrakku
di depan pemakaman itu?” Tanya Hana yang cukup terkejut melihat adanya Gikwang.
“Ka…Kanae? Sekarang tanggal berapa?”
Gikwang beralih menatap adik perempuannya. Matanya terlihat berkaca-kaca,
bahkan suaranya terdengar sedikit parau.
“Hari ini tanggal sepuluh. 10
Februari 2012.” jawab Kanae ringan.
Gikwang memegangi dada kirinya.
Detakkan jantung yang ia rasakan begitu cepat.
“Memangnya kenapa? Apa kau baik-baik
saja? Kenapa wajahmu pucat?” Tanya Hana ketika ia menangkap kondisi Gikwang
yang berubah drastis secara tiba-tiba.
“Oh, tidak. Aku hanya…”
“Waktunya berputar kembali. Benar,
kan?” Miki memotong ucapan Gikwang.
“Mi…Miki? Bagaimana kau tahu?”
“Sudahlah. Anggap saja Tuhan
memberimu kesempatan kedua. Jadi gunakan dengan baik!”
Apa Miki juga sadar? Batin Gikwang.
“Waktunya berputar?” Tanya Hana dan Kanae hampir berbarengan.
“Apa maksudmu, Miki?” Kanae beralih memandang temannya.
“Tidak. Hanya gurauan.” Jawab Miki yang diikuti dengan anggukan
dari Gikwang.
“Ya sudah kalau begitu. Miki, ayo mulai latihannya!”
Miki mengangguk lalu mundur beberapa langkah dari Kanae. Hana
berdiri di sebelah Kanae, mengajarkan bagaimana memukul bola kasti yang benar.
Sedangkan Gikwang, ia kembali duduk di pinggir danau. Pandangannya tak beralih
dari pemandangan aneh itu. Sejenak ia berpikir. Dulu, sebelum Hana meninggal,
Gikwang sering bermain kasti dengannya di pinggir danau. Persisi seperti apa
yang terjadi sekarang.
Sebaiknya aku bergabung bersama mereka. Batin Gikwang.
***
Warna langit mulai berubah jingga.
Sejak tadi, Kanae, Miki, dan Hana terlarut dalam canda dan tawa. Begitu pula
dengan Gikwang, walaupun terkadang ia masih merasa aneh. Ucapan Miki tadi
menjadi renungan untuknya. Ia memang harus bangkit dari dukanya kemarin dan
segera sadar bahwa waktu memang berputar kembali. Berputar kemasa lalu dan memberikan
kesempatan kedua untuk mengubah segalanya. Mengubah takdir agar Hana tak pergi
karena kesalahannya.
Miki lebih dulu pamit, sedangkan
Hana masih tampak asyik bermain dengan Kanae dan Gikwang.
“Wah, sudah hampir petang. Aku
duluan…”
“Tunggu, sonbae[5]!
Biar aku antar.” Kanae menghadang Hana.
“Oh, tidak, Kanae. Kau harus segera
pulang!” Perintah Gikwang kepada Kanae.
“Ya kalau begitu, oppa[3]
saja yang mengantar. Apa oppa[3] tega membiarkan sonbae[5]ku
pulang sendirian?”
“Sudahlah, tidak perlu repot-repot.
Aku bisa pulang sendiri…”
“Tidak. Biar aku saja yang antar.”
Gikwang dan Hana berjalan beriringan
di trotoar. Keduanya sama-sama terlihat canggung dan saling diam.
“Oh ya, bagaimana kau bisa tahu namaku
saat di depan pemakaman? Kita belum pernah bertemu sebelumnya, kan?” Tanya Hana
membuka pembicaraan.
“A…aku tidak terlalu yakin. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Bukan apa-apa.” Gikwang merasa belum
yakin untuk mengatakan fakta bahwa waktu kembali berputar.
“Oh, aku pulang dulu, Gikwang.
Terimakasih sudah mengantarku.” Ucap Hana ketika ia melihat sebuah rumah di
seberang jalan. Kemudian ia bersiap untuk menyebrang.
“Hana!” Segera Gikwang menarik
tangan Hana ketika ia melihat sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi.
Hana mendarat di dalam dekapan Gikwang dan terdiam. Bisa ia rasakan dengan jelas napas Gikwang yang
memburu dan terdengar sangat khawatir.
***
“Hana!” Aku menarik Hana ke dalam dekapanku, berusaha
menyelamatkannya. Seketika itu aku bisa merasakan dengan jelas aura Hana.
Sangat dekat, begitu nyata. Detak jantungnya pun terasa. Apa benar waktu
kembali berputar? Atau aku hanya berhalusinasi? Tidak, kurasa ini nyata! Aku
bahkan bisa menyentuh Hana sedekat ini.
“Ehm, bisa kau lepaskan aku?”
Aku terperanjat dan refleks
melepaskan pelukanku.
“Maaf. Aku tidak bermaksud…”
“Aku tau. Sekali lagi terimakasih.”
“Oh, iya. Lain kali hati-hati!”
Aku membantu Hana menyeberang jalan.
***
Hari sudah berganti. 11 Februari
2012, begitulah tanggal yang tertera dilayar telepon genggam Gikwang.
Seharusnya hari ini ia pergi kuliah, namun ia merasa lebih penting mengawasi
Hana. Setidaknya ini bentuk usaha untuk melindungi Hana agar tak terjadi hal
yang buruk dengannya.
Hana sedang berjalan menuju sebuah toko
ketika Gikwang membuntutinya diam-diam. Sesekali Hana membalikkan badan, tapi
Gikwang selalu bersembunyi.
“Tak ada gunanya kau bersembunyi!”
Ujar Hana ketika ia berhasil mengenali orang yang membuntutinya. Gikwang muncul dari balik pohon.
“Kenapa kau membuntutiku?” Tanya
Hana ketika mereka berdua berjalan beriringan.
“Sebenarnya, tadi aku ingin
mengagetkanmu.” Jawab Gikwang sekenanya.
“Benarkah…?”
“Tentu.”
“Baiklah. Kalau begitu kau temani
aku ke toko itu, ya?!” Hana menunjuk salah satu toko jam.
Gikwang mengangguk dan tersenyum.
“Wah, benda ini bagus sekali!”
Gikwang tampak kagum melihat sebuah jam antik berukuran besar yang terpajang di
toko jam itu.
“Annyeonghaseyo[4].
Tsuki, bisa kau tolong aku untuk memperbaiki jam ini?” Tanya Hana ketika ia melihat
penjaga toko mendekatinya. Kebetulan penjaga toko jam antik itu adalah kakak
Miki, dan tentu saja Hana mengenalnya. Hana menunjukkan sebuah jam antik yang
bertali menyerupai kalung kepada Tsuki.
Gikwang beralih menatap jam antik
yang sekarang berpindah ketangan penjaga toko itu. Ia merasa kenal dengan jam
itu.
“Wah, darimana kau dapatkan benda
ini?” Tanya Tsuki dengan kagum.
“Ketika sedang berjalan, aku
menemukannya tergeletak begitu saja di atas tanah. Karena tidak ada yang
mencari, jadi aku mengambilnya.” Jelas Hana.
“Kapan kau menemukannya?” Gikwang
tiba-tiba bertanya.
“Kemarin lusa, kalau tidak salah.
Apa kau tahu pemiliknya?”
Deg. Gikwang terdiam dan
berkutat dalam pikirannya. Kemarin lusa, berarti dua hari yang lalu. Jika
dilihat dari waktu yang nyata, Hana seharusnya sudah meninggal saat itu. Lalu,
jam antik ini, bukankah aku yang meletakkannya di dekat nisan? Batin Gikwang.
“Tunggu sebentar! Biar aku periksa
jam ini.” Kemudian Tsuki pergi menuju meja kerjanya dan diikuti oleh Hana. Sedangkan
Gikwang masih membeku di tempat.
“Gikwang, kau baik-baik saja?” Tanya
Hana ketika ia sadar wajah Gikwang mulai terlihat pucat dan hanya diam.
“Aku baik-baik saja.”
Lima menit kemudian, Tsuki masih
memeriksa keadaan jam antik itu.
“Ada masalah dengan jarum jamnya.” Tsuki
membuka pembicaraan.
“Apa jarum jamnya tidak bergerak?”
Tanya Hana.
“Lebih tepatnya, jarum jamnya sering
berputar kearah sebaliknya.” Tsuki menunjukkan keanehan jarum jam itu pada Hana
dan Gikwang.
“Aneh…” gumam Hana.
“Waktunya jadi terkesan mundur.”
Lanjut Hana sambil menggoyang-goyangkan jam antik itu.
Waktunya memang mundur. Batin
Gikwang.
“Apa benda ini tidak bisa
diperbaiki?” Tanya Gikwang kemudian.
“Aku tidak yakin. Sudah berulang
kali aku coba memutarnya kembali, tapi jarum jam itu masih berputar kearah sebaliknya.”
Terang Tsuki.
“Ya sudah. Kalau begitu kami permisi
dulu. Terimakasih ya, Tsuki.” Pamit Hana sambil membungkukkan sedikit badannya.
Lalu diikuti Gikwang. Tak lupa Hana memberikan beberapa lembar uang.
“Oh, baiklah. Terimakasih sudah
berkunjung. Oh ya, aku rasa jamnya tidak perlu diperbaiki. Suatu saat, jarum
jamnya pasti akan berputar dengan baik.”
Seketika itu, Gikwang berhenti
berjalan.
“Ada apa?” Tanya Hana yang merasa
heran.
Gikwang menggeleng dan mencoba
tersenyum pada Hana. Kata-kata Tsuki tadi membuatnya berpikir. Sampai kapan
waktunya akan berputar mundur? Batin Gikwang bertanya-tanya.
“Hana, awas!”
Gikwang menarik Hana hingga dirinya jatuh
tersungkur, ketika ia melihat sebuah sepeda yang dikendarai seseorang tampak
oleng.
“Aduh!” Gikwang meringis kesakitan
ketika lutut kanannya terluka dan berdarah.
“Gikwang, lututmu…”
“A…aku baik-baik saja.” Ujar Gikwang
sambil setengah merintih.
“Tunggu di sini! Biar aku cari
perban dulu.” Hana bangkit lalu berdiri di pinggir trotoar. Berniat menyebrang.
“Hana!” Gikwang berusaha secepat
mungkin bangkit. Kali ini ia menarik Hana lagi dan jatuh tersungkur.
“Gikwang, kau tidak apa-apa?” Tanya
Hana khawatir.
“Aku tak apa. Hanya saja, lutut
kiriku berdarah…”
“Ya ampun. Tunggu di…”
“Tidak! Jangan pergi sendiri!
A…aku…” Gikwang merasakan firasat buruk hari ini. Bayangkan saja, sudah ada dua
keburukan berturut-turut yang hampir menimpa Hana. Untungnya Gikwang sigap.
Kalau tidak, mungkin hal yang tidak diinginkan Gikwang akan terjadi.
“Baiklah kalau begitu. Biar aku
tuntun kau ke apotek.” Hana meletakkan lengan Gikwang di bahunya, kemudian
keduanya berjalan perlahan.
Di apotek, Gikwang duduk di sebuah
kursi, sedangkan Hana sedang mengobati dan memasang perban pada kedua lutut
Gikwang. Sesekali Gikwang meringis kesakitan karena rasa perih dari efek obat
yang diberikan Hana.
“Satu… dua… Ah, sudah tiga kali kau
menyelamatkanku. Terimakasih.” Ujar Hana ketika ia mencoba menuntun Gikwang
keluar apotek.
“Memang sudah sepantasnya kau
diselamatkan…”
“Eh, maksudnya?”
“Tidak. Aku hanya asal bicara.”
Jawab Gikwang asal. Ia sengaja berdalih untuk menutupi yang sebenarnya terjadi.
Tidak tepat waktu jika ia bicara sekarang.
“Oh ya, kebetulan besok hari Minggu,
apa kau punya waktu luang?” Tanya Hana ketika keduanya sampai di depan rumah
Gikwang. Hana sengaja mengantarnya, mengingat kaki Gikwang masih sakit.
“Eh, besok?” Gikwang berpikir
sejenak. Bukankah besok tanggal dua belas? Batin Gikwang.
“Ya. Kalau kau punya, aku berniat…”
“Tidak. Aku tidak punya.” Potong
Gikwang. Ia sengaja berkata tidak punya. Setidaknya dia ingin besok, pada
tanggal 12 Februari 2012, Hana hanya di rumah saja dan tidak pergi kemana-mana.
Gikwang tidak mau pada tanggal itu, hal yang lebih buruk terjadi.
“Sayang sekali. Padahal aku ingin
mengajakmu makan. Setidaknya aku ingin membalas budi karena kau…”
“Lebih baik kau di rumah saja! Besok
aku sibuk.”
“Ayolah, Gikwang. Sekali ini saja.
Oh ya, aku tahu tempat makan yang bagus. Aku juga berniat mengajak Kanae dan
Mika,” kali ini Hana memasang wajah memelas.
Gikwang jadi merasa tak tega. Tapi
ia benar-benar khawatir kalau seandainya besok hal yang dulu pernah terjadi
terulang lagi.
“Bagaimana kalau besok jam tujuh
petang? Kalau malam, kau tidak sibuk, kan? Ayolah, Gikwang.” Hana masih
memohon.
Gikwang menghela napas panjang lalu
menghembuskannya.
“Baiklah. Kita bertemu dimana?”
Gikwang akhirnya luluh juga.
“Baik. Kita bertemu di depan hotel
yang terkenal itu, ya. Jangan terlambat!” Hana kemudian pergi.
Glek. Di depan hotel itu?
Batin Gikwang. Ia baru ingat kalau hotel yang dimaksud Hana adalah saksi
terjadinya peristiwa yang dulu pernah menimpa Hana.
***
Malam sudah menjelang. Hana
memutuskan untuk menelepon Kanae dan Mika.
“Halo. Kanae, sedang apa?” Tanya
Hana ketika panggilannya diangkat oleh Kanae.
“Hanya bersantai saja, sonbae[5].
Bagaimana denganmu?”
“Kalau begitu sama, aku juga sedang
bersantai. Oh ya, apa besok kau tidak sibuk?”
Obrolan mereka hening sejenak. Sepertinya
Kanae sedang berpikir.
“Oh, aku rasa tidak ada. Memangnya
ada apa, Sonbae[5]?”
“Ehm, aku hanya ingin mengajakmu
makan besok. Ada oppa[3]mu dan Mika juga…”
“Benarkah? Wah, kalau begitu aku
ikut. Jam berapa dan dimana?”
“Jam tujuh malam, kita bertemu di
depan hotel yang terkenal itu.”
“Ah, baiklah. Nanti aku pergi
bersama Gikwang oppa[3].”
“Baguslah. Oh ya, sudah dulu ya,
Kanae. Sampai jumpa besok.” Hana menutup telepon.
Kali ini, Hana ganti menelepon Mika.
“Halo, Mika. Sedang apa?” Tanya Hana
ketika teleponnya tersambung.
“Ah, aku sedang menonton drama di
rumah. Ada apa, Sonbae[5]? Tumben sekali menelepon?”
“Haha, tidak. Aku berniat mengajakmu
makan di restoran besok malam.”
“Oh, benarkah? Jam berapa dan
dimana?”
“Kita bertemu di depan hotel yang
terkenal itu jam tujuh malam. Bagimana?”
“Baiklah. Aku akan datang.”
“Baguslah. Oh ya, ada Kanae dan
Gikwang juga. Sampai bertemu besok, Mika.” Hana menutup telepon dan tersenyum
senang.
***
Matahari mulai menampakkan dirinya.
Sinarnya menembus sela-sela tirai jendelaku yang tertiup semilirnya angin. Aku
mengerjapkan kedua mataku. Kemudian bangkit dari tempat tidur dengan setengah
hati.
“Aduh, kepalaku…”
Untuk kesekian kalinya, kepalaku
terasa nyeri lagi. Apa karena efek waktu yang berputar mundur? Aku berdiri di
depan sebuah kalender. Terdiam dan memandang sebuah goresan pensil berwarna
merah yang sengaja kubuat melingkari salah satu tanggal. Tanggal yang menunjukkan kematian Hana. Di dekat
kalender itu, aku menempel sebuh potongan berita dari koran yang menceritakan
kematian Hana waktu itu. Aku harap, kejadian itu tidak akan terulang lagi dan
goresan merah itu tidak akan pernah berarti apa-apa lagi.
Sebuah pemikiran tiba-tiba saja
melintas dikepalaku. Apa seharusnya aku katakan saja yang sebenarnya pada Hana?
Apa aku katakan saja kalau sebenarnya ia sudah pergi selamannya? Lalu apa aku
juga harus mengatakan kalau ia kembali bersamaan dengan waktu yang berputar
mundur? Apa aku harus mengatakan fakta yang terjadi? Kuputuskan untuk segera
pergi menemui Hana.
Aku pergi mencari Hana. Di rumahnya,
di toko jam antik, di rumah Miki, ia juga tak ada. Sudah kucoba menghubunginya,
ia tak menjawab. Aku jadi semakin was-was. Kemana Hana?
“Hai, Gikwang!”
Aku menoleh dan mendapati Hana di
seberang jalan. Sepertinya ia baru saja keluar dari sebuah swalayan.
“Hana, awas!” Segera aku berteriak
ketika sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melintas. Padahal Hana baru saja
melangkahkan kakinya untuk menyeberang. Nyaris saja.
“Kau tetap disitu!” Aku melangkahkan
kakiku menyeberangi jalan dengan hati-hati.
“Ini sudah keempat kalinya. Sekali
lagi terimakasih.” Ujar Hana ketika aku menghampirinya.
“Sama-sama. Ehm, ada yang ingin
kubicarakan denganmu.” Aku mengajak Hana duduk di salah satu bangku yang ada di
taman kota.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
Aku menghembuskan napas keras-keras
keudara.
“Kau bawa jam antik yang kemarin?”
“Tentu,” Hana memberikannya padaku.
“Memangnya untuk apa?”
“Jarum jam ini tidak rusak, tapi…”
“Tapi apa?”
“Waktunya memang berputar mundur,”
aku menatap Hana. “Percaya padaku!”
“Wah, apa kau sedang berhalusinasi?”
“Aku bawa bukti.” Aku menunjukkan
sebuah potongan koran di mana berita mengenai kematian Hana tertulis disitu.
Hana terdiam membaca potongan koran
itu. Wajahnya mengisyaratkan kalau ia tak percaya.
“Tidak! Tidak mungkin itu…”
“Ini sungguhan, Hana! Karena itu aku
menolak tawaran makan malammu.”
“Kau bohong, Gikwang! Koran ini baru
saja kau gunting, kan? Tidak! Tidak mungkin!”
“Aku tidak berbohong, Hana. Kalau
mau, tanyakan saja pada Miki. Ia juga tahu hal ini.”
Terlihat jelas mata Hana mulai
berair. Maafkan aku Hana. Aku memang harus memberitahukan hal ini.
“Jadi… menurutmu, aku ini sudah mati…?”
Hana mengalihkan pandangannya dariku.
“Ya, dan jam antik itu aku yang
meletakkanya di dekat makammu…”
“Ada hubungan apa kau denganku waktu
itu?” Air mata Hana mulai berlinangan.
“A…aku dulu… Kau dulu kekasihku,
Hana...”
Aku terdiam sejenak. Kali ini mataku
yang mulai terasa basah.
“Kau tidak tahu, ketika kau meninggal,
aku tak berhenti menyesal. Aku tak berhenti menangis di depan makammu, Hana.
Dan aku terkejut ketika sadar kalau waktu kembali berputar ke masa lalu. Aku
pikir, ini kesempatan kedua yang diberikan Tuhan agar aku menjagamu dengan
baik…”
“Karena itu kau selalu
menyelamatkanku?”
“Tepat.”
“Terimakasih sudah memberi tahuku.
Aku pergi dulu.” Hana pergi begitu saja dan aku masih duduk terdiam sambil
menggenggam jam antik itu. Aku tak peduli bulir air mataku sudah jatuh.
***
Langkahku terasa gontai berjalan di
sepanjang trotoar. Air mataku sudah tak mampu lagi kubendung. Kubiarkan ia
terus berlinang. Ini semua karena aku mengingat perkataan Gikwang tadi siang.
Jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh. Aku tetap tak mau membatalkan janji
makan malam itu. Lagi pula, aku yakin tidak akan terjadi apa-apa padaku kali
ini.
Aku berdiri di pinggir jalan, tepat
di seberang sebuah hotel di mana aku, Kanae, Miki dan Gikwang seharusnya
bertemu. Tapi tak kulihat tanda-tanda adanya mereka. Aku memasang earphone[6]
karena merasa bosan menunggu traffic light[2] warna hijau
menyala.
Ketika lampu hijau menyala, aku
melangkahkan kaki dengan yakin.
***
Sudah hampir lima belas menit aku
berlari mencari keberadaan Hana. Suasana hatiku mulai tak tenang. Aku takut
terjadi apa-apa dengannya. Sebaiknya aku pergi menuju hotel itu, siapa tahu
Hana ada disana.
“Hana…?” Aku terkejut ketika dari
kejauhan kulihat Hana sedang berdiri di pinggir jalan berniat menyeberang. Oh,
tidak! Kumohon jangan!
“Hana!” Aku berteriak memanggil Hana.
Ia tak mendengar. Kuputuskan untuk menghampirinya.
Lampu hijau traffic light[2]
itu menyala. Aku semakin panik dan segera mengejar Hana.
“Hana, awas!” Aku berusaha berteriak
ketika kulihat sebuah mobil yang melaju kencang. Hana berhenti!
Segera aku berlari berniat
menyelamatkan Hana. Aku berdiri di sisi Hana ketika ia berjalan di tengah jalan
raya. Kurentangkan kedua tanganku dan memejamkan mata.
Ciiiiittt… Braaaakk!
Sepertinya sesuatu yang keras menghantam diriku, dan aku terlempar dari
tempatku berdiri.
“Gi...Gikwang?”
***
Aku membuka earphone[6]ku
dan berbalik. Seketika itu air mataku tumpah ruah.
“Gi...Gikwang?” Segera kuhampiri
Gikwang yang sudah tergeletak tak berdaya di atas aspal dengan linangan darah
segar dari dahinya.
Aku memangku kepala Gikwang,
“Gikwang, bertahanlah…!”
“Hana, maafkan… a…aku…” Gikwang
bergumam sekuat tenaga.
“Tidak, Gikwang. Kau tidak salah.
Justru aku yang tidak peduli denganmu…”
“Tidak, Hana. Jangan menangis! Ini
aku berikan padamu,” Gikwang membuka genggaman tangannya dan memberikan jam
antik itu kepadaku.
“Setelah ini, mungkin jarum jamnya
akan berputar dengan baik. Aku senang karena kau selamat.”
Melihat Gikwang berusaha tersenyum,
aku semakin tak kuasa menahan air mata. Gikwang, kumohon jangan pergi!
“Memang aku yang meminta Tuhan untuk
memutar kembali waktu. Dan ini aku anggap sebagai takdir yang sudah dituliskan
Tuhan…”
“Tidak, Gikwang. Kau harus
bertahan!”
“Tidak ada gunanya. Tolong jaga
adikku...! Satu lagi, aku tetap mencintaimu, Hana. Kau akan tetap disini…
selamanya…” Gikwang meraih telapak tanganku dan meletakkannya di dada kirinya.
“Selamat tinggal, Hana…”
Aku mengis sejadi-jadinya ketika
telapak kananku perlahan tidak merasakan detakkan jantung lagi.
“Gikwang, buka matamu…! Kumohon…”
***
Aku terdiam di hadapan makammu.
Menangis dan menangis. Itu saja yang bisa aku lakukan.
“Oppa[3], kenapa
secepat itu oppa[3] pergi?”
Aku beralih menatap Kanae yang
berusaha tampak tegar. Di sisinya, Miki sedang memegangi bahunya. Maafkan aku,
Kanae. Ini semua karena salahku. Maafkan aku.
“Sonbae[5],
berhentilah menangis…! Ia pasti tak ingin melihatmu seperti ini terus.”
“Ya, Kanae. Kau juga harus tegar...”
“Aku akan berusaha. Seandainya waktu
bisa diputar kembali, aku akan bilang kalau aku menyanginya. Tapi itu semua
sudah terlambat,”
Aku sedikit tertegun mendengar
perkataan Kanae. Begitu juga Miki.
“Kalau begitu, aku duluan ya, sonbae[5].
Ayo Miki, kita pergi.”
Miki mengangguk dan mengikuti
langkah Kanae.
Aku berlutut di depan makam Gikwang
dan meletakkan jam antik itu di dekat nisan yang bertuliskan nama Lee Gikwang,
12 Februari 2012.
“Sekarang, tanggal kematian kita
berdua sama, kan? Jujur saja, aku bingung, apa aku harus mengucapkan
terimakasih padamu atau aku harus bilang maaf padamu?” Aku mengelus nisan itu.
“Di sisi lain, aku harus senang. Di
sisi lain, aku juga sangat sedih karena kau mau menukar nyawaku dengan nyawamu.
Sudahlah, sebaiknya aku segera pergi. Selamat tinggal, Gikwang…”
***
Hana keluar dari pemakaman sambil
membawa foto Gikwang yang berfigura. Ia masih terlihat berduka dan sesekali
menitihkan air mata.
Buk! Seseorang menabrak bahu
Hana dan foto berfigura yang ia bawa terjatuh. Seketika itu, suara gemuruh di langit
terdengar.
“Oh, maafkan aku. Aku tidak sengaja.
Apa kau tidak apa-apa?”
Hana mendongakkan kepalanya dan
menatap pemuda yang menabraknya itu dengan heran.
“Gi…kwang?”
“Bagaimana kau tahu?” Pemuda itu
membalas menatap Hana dengan heran pula.
Refleks Hana memeluk pemuda yang
memang serupa sekali dengan Gikwang itu. Pemuda itu terkejut.
“Ta…tapi, siapa kau?”
Pertanyaan yang terlontar dari
pemuda itu membuat Hana terperanjat dan segera melepaskan pelukannya. “Oh, kau
tidak mengenalku?”
“Tidak. Apa kita pernah bertemu
sebelumnya?”
Hana terdiam, mencoba menelaah hal
yang baru saja ia alami. Apa waktu berputar kembali? Sebaiknya aku segera pergi. Batinnya.
“Eh, nona, apa kau baik-baik saja?”
Hana mengabaikan pertanyaan pemuda
itu dan tetap berjalan menjauh.
“Aneh sekali.” Gumam pemuda itu dan beranjak
dari tempatnya berdiri.
“Eh, bukankah ini benda yang dibawa
gadis tadi?” Pemuda itu menunduk dan mendapati sebuah foto dengan pecahan kaca
figura di sekelilingnya. Ia memunguti fotonya.
“Oh, orang dalam foto ini…?”
Pemuda itu terkejut melihat sosok
yang ada di dalam foto itu serupa sekali dengannya. Tidak, bukan lagi serupa.
Tapi itu memang dirinya.
“Tapi, ini, bagaimana bisa?”
Tiba-tiba saja pemuda itu
terperanjat melihat pemandangan aneh dari foto yang ia pegang. Sosok dalam foto
itu perlahan lenyap. Lenyap begitu saja layaknya debu, kemudian terbang bersama
semilirnya angin.
TamaT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar