3 Agu 2012

[Fanfiction] Time/Waktu


TIME / WAKTU

Author: anditaandante

Main Cast: 
Lee Gikwang (B2ST)
Kim Hana (fictional character)

Support cast: 
Find by your self

Genre: 
Romance, sad, fantasy

Disclaimer:
This story is mine (inspired by Severely F.T Island's MV).
Lee Gikwang milik author = w = /ditendang beauties/
other fictional cast milik author.

Happy reading. Sorry for long plot and mistakes.
If you want to take it out, please take with full credits.
Thank you.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Waktu. Tidak ada yang mempu mengaturnya selain Yang Maha Kuasa. Benar memang, karena hanya Ia yang punya kehendak. Siapa yang tahu bagaimana waktu berjalan? Siapa yang tahu kapan waktu akan terus berputar? Siapa yang tahu kapan waktu akan berhenti? Dan siapa pula yang tahu kapan waktu bisa terulang lagi? Tidak ada yang tahu pasti, kecuali Tuhan.


            Begitu juga dengan kematian. Sebuah peristiwa dimana seseorang akan mengakhiri petualangannya di dunia yang fana ini. Tak ada satu pun yang dapat menebak pasti, kapan kematian akan menjemput. Itu semua merupakan data rahasia milik Tuhan yang tak seorang pun dapat mengetahui, bahkan mengintipnya.
            Waktu dan kematian, dua hal yang saling berkaitan dan sama-sama disembunyikan oleh Tuhan. Kapan kau akan mati? Hanya waktu yang dapat menjawab. Ya, dia akan menjawab ketika kau sudah mengalaminya dan hanya Tuhan yang dapat mengendalikan waktunya. Tidak ada yang mampu mengelak dari dua kuasa Tuhan itu, waktu dan kematian.
            Kematianmu kini kulihat sendiri dengan mata kepalaku. Kau terbaring kaku di dalam gundukan tanah itu. Sendiri, sepi, sunyi, dan dingin. Taburan bunga yang bertebaran di permukaan gundukannya, menambah hawa duka yang mendalam bagiku. Nisan yang masih tampak baru dengan ukiran namamu, menyesakkan dadaku. Ingin rasanya aku berteriak memanggil kau untuk kembali.
            Aku mengelus lembut wajahmu di dalam foto hitam putih berfigura yang kubawa ketika mengantarmu ke tempat peristirahatan ini. Air mataku tumpah ruah, tak mampu lagi kubendung. Kugenggam kuat segumpal tanah. Penyesalan! Diriku penuh dengan penyesalan. Aku memang bodoh, tak menjagamu dengan baik! Hanya satu hal yang berputar dipikiranku. Seandainya aku bisa mengulang kembali waktu…
*Flashback[1]*
            Aku sedang berdiri di depan gedung sebuah hotel, menunggu seorang gadis bernama Hana. Sudah seminggu ini aku dan Hana berpacaran. Malam ini, aku berniat mengajaknya makan malam di restoran yang berkelas. Setidaknya ini untuk satu minggu pertama kami.
            Setengah jam kemudian, aku melihat seorang gadis berambut panjang dan memakai baju tebal di seberang jalan, tampak mencari seseorang. Ah, aku rasa itu Hana. Kuputuskan untuk menghubunginya.
            “Hai, Hana. Aku ada di seberang.” Ucapku senang, ketika Hana mengangkat panggilanku.
            “Ya, aku melihatmu.” sahutnya sembari melambaikan tangan kearah ku.
            “Tunggu sebentar! Biar aku saja yang menjemputmu ke sana…”
            “Eh, tidak perlu. Biar aku sendiri saja yang menyeberang ke tempatmu…”
            Ketika traffic light[2] warna hijau menyala, Hana melangkahkan kakinya melewati jalan raya.
            Ciiiiittt… Braaaakk! Sebuah decitan disusul bunyi tubrukan itu begitu menyayat telinga. Mataku membulat dan refleks berlari menuju Hana yang sudah tergeletak tak berdaya. Telepon genggam yang ia pegang tadi berhamburan di atas aspal. Linangan darah segar tampak mengalir dari kepalanya.
            “Hana…” gumamku disela-sela isak tangis. Aku memangku kepalanya. Berusaha menyadarkannya, tapi ia tak bergeming.
            “Tidak, Hana. Jangan pergi! Ku mohon…”
*Flashback[1] selesai*
            Sudah terlalu lama aku mematung di hadapan gundukan tanah ini. Menangis dan menangis saja yang bisa kulakukan. Bahkan aku tak menyadari bahwa kedua sahabat Hana, Kanae dan Mika sudah pergi sejak tadi. Sebaiknya aku segera pergi meninggalkan tempat ini. Sejenak, aku menatap nisan yang bertuliskan Kim Hana, 12 Februari 2012, kemudian meletakkan sebuah jam antik bertali di sisi nisannya.
            “Selamat tinggal, Hana...”
***
            Lee Gikwang, pemuda yang sejak tadi hanya memandang kosong makam kekasihnya itu kini melangkahkan kaki keluar dari pemakaman. Ia tetap memeluk erat foto Hana yang berfigura itu. Langkahnya yang gontai dan terus menundukkan kepala, menandakan ia tak sepenuh hati merelakan kepergian Hana. Matanya yang tampak sembab sesekali masih berkaca-kaca.
            Buk! Gikwang menabrak bahu seseorang. Tepat disaat suara gemuruh dari langit menggema. Foto berfigura yang dipegang Gikwang pun terjatuh.
            “A… aku minta maaf. Aku tidak bermaksud…”
            Ucapan Gikwang terpotong ketika ia mendongakkan kepala dan menatap seorang gadis yang ia tabrak. Gadis itu serupa sekali dengan Hana. Matanya, pipinya, bibirnya, benar-benar identik. Air mata Gikwang yang tadi sempat ia bendung, kini tumpah lagi. Terkejut, heran, sekaligus sedih, begitulah ekspresi Gikwang berkata.
            “Ya. Tak apa.” Sahut gadis itu sembari memegangi bahunya.
            “K…kau? Hana?!”
            “Oh, dari mana kau tahu?”
            Tanpa pikir panjang Gikwang memeluk gadis yang memang serupa sekali dengan Hana itu. Tapi apa ia benar-benar Hana? Atau hanya ilusi Gikwang saja?
            “Hei, apa-apaan ini?!” Sungut gadis itu setelah berhasil mendorong Gikwang hingga tersungkur.
            “Huh, dasar tidak tahu sopan santun!” Bentak gadis itu kemudian pergi begitu saja dan membiarkan Gikwang menggantung dalam pikirannya.
            Hana? Apa ia Hana?! Ah, tidak mungkin! Batin Gikwang berkecamuk. Sesekali Gikwang mengucek kedua matanya, memastikan kejadian yang barusan ia alami.
            “Dimana fotonya?!” Ujar Gikwang ketika ia hanya mendapati figura dari foto Hana tadi, sudah pecah berkeping-keping. Ia memunguti perlahan pecahan kaca figura itu.
            “Tidak! Ia tidak mungkin Hana…”
***
            Keesokkan paginya, Gikwang bangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa nyeri. Ia bangkit dari tempat tidur sambil memegangi kepala. Kemudian ia meraih telepon genggamnya yang sengaja diletakkan di atas meja sebelah tempat tidurnya.
            “Se…sepuluh? Hari ini tanggal sepuluh…?!”
            Gikwang terkejut sendiri ketika ia melihat tanggal di layar telepon genggamnya. 10 Februari 2012, begitulah tanggal yang tertera. Aneh. Padahal Gikwang sama sekali tak menggantinya.
            “Ba… bagaimana bisa…? Ini…? Waktunya…?”
            Pikiran Gikwang semakin berputar tak karuan. Akhirnya ia putuskan untuk pergi menikmati suasana danau yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Kebetulan, hari ini ia tidak ada jam kuliah.
            Gikwang duduk di atas tanah berumput hijau, tepat di sisi danau. Udara sejuk menyentuh lembut kulitnya. Semilir angin membuat rambut Gikwang terlihat sedikit berantakan. Beberapa helai rambut poninya bahkan sampai menutupi sebelah matanya.
            “Gikwang oppa[3], sedang apa kau di sini?”
            Gikwang terperanjat ketika seorang gadis berambut sebahu langsung duduk di sisinya. Untuk apa Kanae kemari? Batinnya. Ia merasa bingung.
            “Menikmati pemandangan. Bagaimana denganmu, Kanae?”
            “Ah, aku sedang berlatih kasti.” Jawab Kanae sambil menunjukkan sebuat pemukul kasti beserta bolanya ke Gikwang.
            “Kanae, kau sedang apa? Cepat kemari! Tugas kita belum selesai.” Teman Kanae memanggil.
            “Tunggu sebentar, Miki! Oppa[3], ayo ikut!”
            “Eh, apa tidak mengganggu?”
            “Tentu saja tidak. Ayo!” Kanae menarik lengan Gikwang menuju tempat Miki.
            “Miki, ini oppa[3]ku, Gikwang.” Ujar Kanae ketika ia dan Gikwang berhadapan dengan Miki.
            “Oh, annyeonghaseyo[4]. Namaku Miki. Senang bertemu denganmu.” Miki sedkit menundukkan kepalanya.
            “Miki? Nama yang lucu…”
            Semu merah diwajah Miki jelas terlihat. Hal itu membuat Kanae jadi cekikikan geli.
            “Oh ya, dimana sonbae[5]?”
            Sonbae[5]? Batin Gikwang sembari melihat sekeliling mencari keberadaan orang yang dimaksud Kanae.
            “Oh, sonbae[5], kami ada di sini…” Kanae dan Miki menggoyangkan tangannya bersamaan. Tak lama, sonbae[5] yang dimaksud Kanae tadi datang mendekat.
            Hana? Bagaimana bisa? Gikwang berkecamuk dalam hatinya. Matanya membulat, tubuhnya membeku, darahnya berdesir cepat ketika ia melihat sosok gadis yang kemarin ia tabrak di depan pemakaman.
            “Hana sonbae[5], kenalkan, ini oppa[3]ku, Gikwang. Oppa[3], sonbae[5] ini yang sering membantuku mengerjakan tugas. Kali ini ia ingin mengajariku memukul bola kasti yang benar.”
            “Kau? Bukankah kemarin kau yang menabrakku di depan pemakaman itu?” Tanya Hana yang cukup terkejut melihat adanya Gikwang.
            “Ka…Kanae? Sekarang tanggal berapa?” Gikwang beralih menatap adik perempuannya. Matanya terlihat berkaca-kaca, bahkan suaranya terdengar sedikit parau.
            “Hari ini tanggal sepuluh. 10 Februari 2012.” jawab Kanae ringan.
            Gikwang memegangi dada kirinya. Detakkan jantung yang ia rasakan begitu cepat.
            “Memangnya kenapa? Apa kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu pucat?” Tanya Hana ketika ia menangkap kondisi Gikwang yang berubah drastis secara tiba-tiba.
            “Oh, tidak. Aku hanya…”
            “Waktunya berputar kembali. Benar, kan?” Miki memotong ucapan Gikwang.
            “Mi…Miki? Bagaimana kau tahu?”
            “Sudahlah. Anggap saja Tuhan memberimu kesempatan kedua. Jadi gunakan dengan baik!”
Apa Miki juga sadar? Batin Gikwang.
“Waktunya berputar?” Tanya Hana dan Kanae hampir berbarengan.
“Apa maksudmu, Miki?” Kanae beralih memandang temannya.
“Tidak. Hanya gurauan.” Jawab Miki yang diikuti dengan anggukan dari Gikwang.
“Ya sudah kalau begitu. Miki, ayo mulai latihannya!”
Miki mengangguk lalu mundur beberapa langkah dari Kanae. Hana berdiri di sebelah Kanae, mengajarkan bagaimana memukul bola kasti yang benar. Sedangkan Gikwang, ia kembali duduk di pinggir danau. Pandangannya tak beralih dari pemandangan aneh itu. Sejenak ia berpikir. Dulu, sebelum Hana meninggal, Gikwang sering bermain kasti dengannya di pinggir danau. Persisi seperti apa yang terjadi sekarang.
Sebaiknya aku bergabung bersama mereka. Batin Gikwang.
***
            Warna langit mulai berubah jingga. Sejak tadi, Kanae, Miki, dan Hana terlarut dalam canda dan tawa. Begitu pula dengan Gikwang, walaupun terkadang ia masih merasa aneh. Ucapan Miki tadi menjadi renungan untuknya. Ia memang harus bangkit dari dukanya kemarin dan segera sadar bahwa waktu memang berputar kembali. Berputar kemasa lalu dan memberikan kesempatan kedua untuk mengubah segalanya. Mengubah takdir agar Hana tak pergi karena kesalahannya.
            Miki lebih dulu pamit, sedangkan Hana masih tampak asyik bermain dengan Kanae dan Gikwang.
            “Wah, sudah hampir petang. Aku duluan…”
            “Tunggu, sonbae[5]! Biar aku antar.” Kanae menghadang Hana.
            “Oh, tidak, Kanae. Kau harus segera pulang!” Perintah Gikwang kepada Kanae.
            “Ya kalau begitu, oppa[3] saja yang mengantar. Apa oppa[3] tega membiarkan sonbae[5]ku pulang sendirian?”
            “Sudahlah, tidak perlu repot-repot. Aku bisa pulang sendiri…”
            “Tidak. Biar aku saja yang antar.”
            Gikwang dan Hana berjalan beriringan di trotoar. Keduanya sama-sama terlihat canggung dan saling diam.
           “Oh ya, bagaimana kau bisa tahu namaku saat di depan pemakaman? Kita belum pernah bertemu sebelumnya, kan?” Tanya Hana membuka pembicaraan.
            “A…aku tidak terlalu yakin. Tapi…”
            “Tapi apa?”
            “Bukan apa-apa.” Gikwang merasa belum yakin untuk mengatakan fakta bahwa waktu kembali berputar.
            “Oh, aku pulang dulu, Gikwang. Terimakasih sudah mengantarku.” Ucap Hana ketika ia melihat sebuah rumah di seberang jalan. Kemudian ia bersiap untuk menyebrang.
            “Hana!” Segera Gikwang menarik tangan Hana ketika ia melihat sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Hana mendarat di dalam dekapan Gikwang dan terdiam. Bisa ia  rasakan dengan jelas napas Gikwang yang memburu dan terdengar sangat khawatir.
***
“Hana!” Aku menarik Hana ke dalam dekapanku, berusaha menyelamatkannya. Seketika itu aku bisa merasakan dengan jelas aura Hana. Sangat dekat, begitu nyata. Detak jantungnya pun terasa. Apa benar waktu kembali berputar? Atau aku hanya berhalusinasi? Tidak, kurasa ini nyata! Aku bahkan bisa menyentuh Hana sedekat ini.
“Ehm, bisa kau lepaskan aku?”
            Aku terperanjat dan refleks melepaskan pelukanku.
            “Maaf. Aku tidak bermaksud…”
            “Aku tau. Sekali lagi terimakasih.”
            “Oh, iya. Lain kali hati-hati!”
Aku membantu Hana menyeberang jalan.
***
            Hari sudah berganti. 11 Februari 2012, begitulah tanggal yang tertera dilayar telepon genggam Gikwang. Seharusnya hari ini ia pergi kuliah, namun ia merasa lebih penting mengawasi Hana. Setidaknya ini bentuk usaha untuk melindungi Hana agar tak terjadi hal yang buruk dengannya.
            Hana sedang berjalan menuju sebuah toko ketika Gikwang membuntutinya diam-diam. Sesekali Hana membalikkan badan, tapi Gikwang selalu bersembunyi.
            “Tak ada gunanya kau bersembunyi!” Ujar Hana ketika ia berhasil mengenali orang yang membuntutinya.            Gikwang muncul dari balik pohon.
            “Kenapa kau membuntutiku?” Tanya Hana ketika mereka berdua berjalan beriringan.
            “Sebenarnya, tadi aku ingin mengagetkanmu.” Jawab Gikwang sekenanya.
            “Benarkah…?”
            “Tentu.”
            “Baiklah. Kalau begitu kau temani aku ke toko itu, ya?!” Hana menunjuk salah satu toko jam.
            Gikwang mengangguk dan tersenyum.
            “Wah, benda ini bagus sekali!” Gikwang tampak kagum melihat sebuah jam antik berukuran besar yang terpajang di toko jam itu.
            “Annyeonghaseyo[4]. Tsuki, bisa kau tolong aku untuk memperbaiki jam ini?” Tanya Hana ketika ia melihat penjaga toko mendekatinya. Kebetulan penjaga toko jam antik itu adalah kakak Miki, dan tentu saja Hana mengenalnya. Hana menunjukkan sebuah jam antik yang bertali menyerupai kalung kepada Tsuki.
            Gikwang beralih menatap jam antik yang sekarang berpindah ketangan penjaga toko itu. Ia merasa kenal dengan jam itu.
            “Wah, darimana kau dapatkan benda ini?” Tanya Tsuki dengan kagum.
            “Ketika sedang berjalan, aku menemukannya tergeletak begitu saja di atas tanah. Karena tidak ada yang mencari, jadi aku mengambilnya.” Jelas Hana.
            “Kapan kau menemukannya?” Gikwang tiba-tiba bertanya.
            “Kemarin lusa, kalau tidak salah. Apa kau tahu pemiliknya?”
            Deg. Gikwang terdiam dan berkutat dalam pikirannya. Kemarin lusa, berarti dua hari yang lalu. Jika dilihat dari waktu yang nyata, Hana seharusnya sudah meninggal saat itu. Lalu, jam antik ini, bukankah aku yang meletakkannya di dekat nisan? Batin Gikwang.
            “Tunggu sebentar! Biar aku periksa jam ini.” Kemudian Tsuki pergi menuju meja kerjanya dan diikuti oleh Hana. Sedangkan Gikwang masih membeku di tempat.
            “Gikwang, kau baik-baik saja?” Tanya Hana ketika ia sadar wajah Gikwang mulai terlihat pucat dan hanya diam.
            “Aku baik-baik saja.”
            Lima menit kemudian, Tsuki masih memeriksa keadaan jam antik itu.
            “Ada masalah dengan jarum jamnya.” Tsuki membuka pembicaraan.
            “Apa jarum jamnya tidak bergerak?” Tanya Hana.
            “Lebih tepatnya, jarum jamnya sering berputar kearah sebaliknya.” Tsuki menunjukkan keanehan jarum jam itu pada Hana dan Gikwang.
            “Aneh…” gumam Hana.
            “Waktunya jadi terkesan mundur.” Lanjut Hana sambil menggoyang-goyangkan jam antik itu.
            Waktunya memang mundur. Batin Gikwang.
            “Apa benda ini tidak bisa diperbaiki?” Tanya Gikwang kemudian.
            “Aku tidak yakin. Sudah berulang kali aku coba memutarnya kembali, tapi jarum jam itu masih berputar kearah sebaliknya.” Terang Tsuki.
            “Ya sudah. Kalau begitu kami permisi dulu. Terimakasih ya, Tsuki.” Pamit Hana sambil membungkukkan sedikit badannya. Lalu diikuti Gikwang. Tak lupa Hana memberikan beberapa lembar uang.
            “Oh, baiklah. Terimakasih sudah berkunjung. Oh ya, aku rasa jamnya tidak perlu diperbaiki. Suatu saat, jarum jamnya pasti akan berputar dengan baik.”
            Seketika itu, Gikwang berhenti berjalan.
            “Ada apa?” Tanya Hana yang merasa heran.
            Gikwang menggeleng dan mencoba tersenyum pada Hana. Kata-kata Tsuki tadi membuatnya berpikir. Sampai kapan waktunya akan berputar mundur? Batin Gikwang bertanya-tanya.
            “Hana, awas!”
            Gikwang menarik Hana hingga dirinya jatuh tersungkur, ketika ia melihat sebuah sepeda yang dikendarai seseorang tampak oleng.
            “Aduh!” Gikwang meringis kesakitan ketika lutut kanannya terluka dan berdarah.
            “Gikwang, lututmu…”
            “A…aku baik-baik saja.” Ujar Gikwang sambil setengah merintih.
            “Tunggu di sini! Biar aku cari perban dulu.” Hana bangkit lalu berdiri di pinggir trotoar. Berniat menyebrang.
            “Hana!” Gikwang berusaha secepat mungkin bangkit. Kali ini ia menarik Hana lagi dan jatuh tersungkur.
            “Gikwang, kau tidak apa-apa?” Tanya Hana khawatir.
            “Aku tak apa. Hanya saja, lutut kiriku berdarah…”
            “Ya ampun. Tunggu di…”
            “Tidak! Jangan pergi sendiri! A…aku…” Gikwang merasakan firasat buruk hari ini. Bayangkan saja, sudah ada dua keburukan berturut-turut yang hampir menimpa Hana. Untungnya Gikwang sigap. Kalau tidak, mungkin hal yang tidak diinginkan Gikwang akan terjadi.
            “Baiklah kalau begitu. Biar aku tuntun kau ke apotek.” Hana meletakkan lengan Gikwang di bahunya, kemudian keduanya berjalan perlahan.
            Di apotek, Gikwang duduk di sebuah kursi, sedangkan Hana sedang mengobati dan memasang perban pada kedua lutut Gikwang. Sesekali Gikwang meringis kesakitan karena rasa perih dari efek obat yang diberikan Hana.
            “Satu… dua… Ah, sudah tiga kali kau menyelamatkanku. Terimakasih.” Ujar Hana ketika ia mencoba menuntun Gikwang keluar apotek.
            “Memang sudah sepantasnya kau diselamatkan…”
            “Eh, maksudnya?”
            “Tidak. Aku hanya asal bicara.” Jawab Gikwang asal. Ia sengaja berdalih untuk menutupi yang sebenarnya terjadi. Tidak tepat waktu jika ia bicara sekarang.
            “Oh ya, kebetulan besok hari Minggu, apa kau punya waktu luang?” Tanya Hana ketika keduanya sampai di depan rumah Gikwang. Hana sengaja mengantarnya, mengingat kaki Gikwang masih sakit.
            “Eh, besok?” Gikwang berpikir sejenak. Bukankah besok tanggal dua belas? Batin Gikwang.
            “Ya. Kalau kau punya, aku berniat…”
            “Tidak. Aku tidak punya.” Potong Gikwang. Ia sengaja berkata tidak punya. Setidaknya dia ingin besok, pada tanggal 12 Februari 2012, Hana hanya di rumah saja dan tidak pergi kemana-mana. Gikwang tidak mau pada tanggal itu, hal yang lebih buruk terjadi.
            “Sayang sekali. Padahal aku ingin mengajakmu makan. Setidaknya aku ingin membalas budi karena kau…”
            “Lebih baik kau di rumah saja! Besok aku sibuk.”
            “Ayolah, Gikwang. Sekali ini saja. Oh ya, aku tahu tempat makan yang bagus. Aku juga berniat mengajak Kanae dan Mika,” kali ini Hana memasang wajah memelas.
            Gikwang jadi merasa tak tega. Tapi ia benar-benar khawatir kalau seandainya besok hal yang dulu pernah terjadi terulang lagi.
            “Bagaimana kalau besok jam tujuh petang? Kalau malam, kau tidak sibuk, kan? Ayolah, Gikwang.” Hana masih memohon.
            Gikwang menghela napas panjang lalu menghembuskannya.
            “Baiklah. Kita bertemu dimana?” Gikwang akhirnya luluh juga.
            “Baik. Kita bertemu di depan hotel yang terkenal itu, ya. Jangan terlambat!” Hana kemudian pergi.
            Glek. Di depan hotel itu? Batin Gikwang. Ia baru ingat kalau hotel yang dimaksud Hana adalah saksi terjadinya peristiwa yang dulu pernah menimpa Hana.
***
            Malam sudah menjelang. Hana memutuskan untuk menelepon Kanae dan Mika.
            “Halo. Kanae, sedang apa?” Tanya Hana ketika panggilannya diangkat oleh Kanae.
            “Hanya bersantai saja, sonbae[5]. Bagaimana denganmu?”
            “Kalau begitu sama, aku juga sedang bersantai. Oh ya, apa besok kau tidak sibuk?”
            Obrolan mereka hening sejenak. Sepertinya Kanae sedang berpikir.
            “Oh, aku rasa tidak ada. Memangnya ada apa, Sonbae[5]?”
            “Ehm, aku hanya ingin mengajakmu makan besok. Ada oppa[3]mu dan Mika juga…”
            “Benarkah? Wah, kalau begitu aku ikut. Jam berapa dan dimana?”
            “Jam tujuh malam, kita bertemu di depan hotel yang terkenal itu.”
            “Ah, baiklah. Nanti aku pergi bersama Gikwang oppa[3].”
            “Baguslah. Oh ya, sudah dulu ya, Kanae. Sampai jumpa besok.” Hana menutup telepon.
            Kali ini, Hana ganti menelepon Mika.
            “Halo, Mika. Sedang apa?” Tanya Hana ketika teleponnya tersambung.
            “Ah, aku sedang menonton drama di rumah. Ada apa, Sonbae[5]? Tumben sekali menelepon?”
            “Haha, tidak. Aku berniat mengajakmu makan di restoran besok malam.”
            “Oh, benarkah? Jam berapa dan dimana?”
            “Kita bertemu di depan hotel yang terkenal itu jam tujuh malam. Bagimana?”
            “Baiklah. Aku akan datang.”
            “Baguslah. Oh ya, ada Kanae dan Gikwang juga. Sampai bertemu besok, Mika.” Hana menutup telepon dan tersenyum senang.
***
            Matahari mulai menampakkan dirinya. Sinarnya menembus sela-sela tirai jendelaku yang tertiup semilirnya angin. Aku mengerjapkan kedua mataku. Kemudian bangkit dari tempat tidur dengan setengah hati.
            “Aduh, kepalaku…”
            Untuk kesekian kalinya, kepalaku terasa nyeri lagi. Apa karena efek waktu yang berputar mundur? Aku berdiri di depan sebuah kalender. Terdiam dan memandang sebuah goresan pensil berwarna merah yang sengaja kubuat melingkari salah satu tanggal. Tanggal  yang menunjukkan kematian Hana. Di dekat kalender itu, aku menempel sebuh potongan berita dari koran yang menceritakan kematian Hana waktu itu. Aku harap, kejadian itu tidak akan terulang lagi dan goresan merah itu tidak akan pernah berarti apa-apa lagi.
            Sebuah pemikiran tiba-tiba saja melintas dikepalaku. Apa seharusnya aku katakan saja yang sebenarnya pada Hana? Apa aku katakan saja kalau sebenarnya ia sudah pergi selamannya? Lalu apa aku juga harus mengatakan kalau ia kembali bersamaan dengan waktu yang berputar mundur? Apa aku harus mengatakan fakta yang terjadi? Kuputuskan untuk segera pergi menemui Hana.
            Aku pergi mencari Hana. Di rumahnya, di toko jam antik, di rumah Miki, ia juga tak ada. Sudah kucoba menghubunginya, ia tak menjawab. Aku jadi semakin was-was. Kemana Hana?
            “Hai, Gikwang!”
            Aku menoleh dan mendapati Hana di seberang jalan. Sepertinya ia baru saja keluar dari sebuah swalayan.
            “Hana, awas!” Segera aku berteriak ketika sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melintas. Padahal Hana baru saja melangkahkan kakinya untuk menyeberang. Nyaris saja.
            “Kau tetap disitu!” Aku melangkahkan kakiku menyeberangi jalan dengan hati-hati.
            “Ini sudah keempat kalinya. Sekali lagi terimakasih.” Ujar Hana ketika aku menghampirinya.
            “Sama-sama. Ehm, ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Aku mengajak Hana duduk di salah satu bangku yang ada di taman kota.
            “Apa yang ingin kau bicarakan?”
            Aku menghembuskan napas keras-keras keudara.
            “Kau bawa jam antik yang kemarin?”
            “Tentu,” Hana memberikannya padaku. “Memangnya untuk apa?”
            “Jarum jam ini tidak rusak, tapi…”
            “Tapi apa?”
            “Waktunya memang berputar mundur,” aku menatap Hana. “Percaya padaku!”
            “Wah, apa kau sedang berhalusinasi?”
            “Aku bawa bukti.” Aku menunjukkan sebuah potongan koran di mana berita mengenai kematian Hana tertulis disitu.
            Hana terdiam membaca potongan koran itu. Wajahnya mengisyaratkan kalau ia tak percaya.
            “Tidak! Tidak mungkin itu…”
            “Ini sungguhan, Hana! Karena itu aku menolak tawaran makan malammu.”
            “Kau bohong, Gikwang! Koran ini baru saja kau gunting, kan? Tidak! Tidak mungkin!”
            “Aku tidak berbohong, Hana. Kalau mau, tanyakan saja pada Miki. Ia juga tahu hal ini.”
            Terlihat jelas mata Hana mulai berair. Maafkan aku Hana. Aku memang harus memberitahukan hal ini.
            “Jadi… menurutmu, aku ini sudah mati…?” Hana mengalihkan pandangannya dariku.
            “Ya, dan jam antik itu aku yang meletakkanya di dekat makammu…”
            “Ada hubungan apa kau denganku waktu itu?” Air mata Hana mulai berlinangan.
            “A…aku dulu… Kau dulu kekasihku, Hana...”
            Aku terdiam sejenak. Kali ini mataku yang mulai terasa basah.
            “Kau tidak tahu, ketika kau meninggal, aku tak berhenti menyesal. Aku tak berhenti menangis di depan makammu, Hana. Dan aku terkejut ketika sadar kalau waktu kembali berputar ke masa lalu. Aku pikir, ini kesempatan kedua yang diberikan Tuhan agar aku menjagamu dengan baik…”
            “Karena itu kau selalu menyelamatkanku?”
            “Tepat.”
            “Terimakasih sudah memberi tahuku. Aku pergi dulu.” Hana pergi begitu saja dan aku masih duduk terdiam sambil menggenggam jam antik itu. Aku tak peduli bulir air mataku sudah jatuh.
***
            Langkahku terasa gontai berjalan di sepanjang trotoar. Air mataku sudah tak mampu lagi kubendung. Kubiarkan ia terus berlinang. Ini semua karena aku mengingat perkataan Gikwang tadi siang. Jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh. Aku tetap tak mau membatalkan janji makan malam itu. Lagi pula, aku yakin tidak akan terjadi apa-apa padaku kali ini.
            Aku berdiri di pinggir jalan, tepat di seberang sebuah hotel di mana aku, Kanae, Miki dan Gikwang seharusnya bertemu. Tapi tak kulihat tanda-tanda adanya mereka. Aku memasang earphone[6] karena merasa bosan menunggu traffic light[2] warna hijau menyala.
            Ketika lampu hijau menyala, aku melangkahkan kaki dengan yakin.
***
            Sudah hampir lima belas menit aku berlari mencari keberadaan Hana. Suasana hatiku mulai tak tenang. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Sebaiknya aku pergi menuju hotel itu, siapa tahu Hana ada disana.
            “Hana…?” Aku terkejut ketika dari kejauhan kulihat Hana sedang berdiri di pinggir jalan berniat menyeberang. Oh, tidak! Kumohon jangan!
            “Hana!” Aku berteriak memanggil Hana. Ia tak mendengar. Kuputuskan untuk menghampirinya.
            Lampu hijau traffic light[2] itu menyala. Aku semakin panik dan segera mengejar Hana.
            “Hana, awas!” Aku berusaha berteriak ketika kulihat sebuah mobil yang melaju kencang. Hana berhenti!
            Segera aku berlari berniat menyelamatkan Hana. Aku berdiri di sisi Hana ketika ia berjalan di tengah jalan raya. Kurentangkan kedua tanganku dan memejamkan mata.
            Ciiiiittt… Braaaakk! Sepertinya sesuatu yang keras menghantam diriku, dan aku terlempar dari tempatku berdiri.
            “Gi...Gikwang?”
***
            Aku membuka earphone[6]ku dan berbalik. Seketika itu air mataku tumpah ruah.
            “Gi...Gikwang?” Segera kuhampiri Gikwang yang sudah tergeletak tak berdaya di atas aspal dengan linangan darah segar dari dahinya.
            Aku memangku kepala Gikwang, “Gikwang, bertahanlah…!”
            “Hana, maafkan… a…aku…” Gikwang bergumam sekuat tenaga.
            “Tidak, Gikwang. Kau tidak salah. Justru aku yang tidak peduli denganmu…”
            “Tidak, Hana. Jangan menangis! Ini aku berikan padamu,” Gikwang membuka genggaman tangannya dan memberikan jam antik itu kepadaku.
            “Setelah ini, mungkin jarum jamnya akan berputar dengan baik. Aku senang karena kau selamat.”
            Melihat Gikwang berusaha tersenyum, aku semakin tak kuasa menahan air mata. Gikwang, kumohon jangan pergi!
            “Memang aku yang meminta Tuhan untuk memutar kembali waktu. Dan ini aku anggap sebagai takdir yang sudah dituliskan Tuhan…”
            “Tidak, Gikwang. Kau harus bertahan!”
            “Tidak ada gunanya. Tolong jaga adikku...! Satu lagi, aku tetap mencintaimu, Hana. Kau akan tetap disini… selamanya…” Gikwang meraih telapak tanganku dan meletakkannya di dada kirinya. “Selamat tinggal, Hana…”
            Aku mengis sejadi-jadinya ketika telapak kananku perlahan tidak merasakan detakkan jantung lagi.
            “Gikwang, buka matamu…! Kumohon…”
***
            Aku terdiam di hadapan makammu. Menangis dan menangis. Itu saja yang bisa aku lakukan.
            “Oppa[3], kenapa secepat itu oppa[3] pergi?”
            Aku beralih menatap Kanae yang berusaha tampak tegar. Di sisinya, Miki sedang memegangi bahunya. Maafkan aku, Kanae. Ini semua karena salahku. Maafkan aku.
            “Sonbae[5], berhentilah menangis…! Ia pasti tak ingin melihatmu seperti ini terus.”
            “Ya, Kanae. Kau juga harus tegar...”
            “Aku akan berusaha. Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku akan bilang kalau aku menyanginya. Tapi itu semua sudah terlambat,”
            Aku sedikit tertegun mendengar perkataan Kanae. Begitu juga Miki.
            “Kalau begitu, aku duluan ya, sonbae[5]. Ayo Miki, kita pergi.”
            Miki mengangguk dan mengikuti langkah Kanae.
            Aku berlutut di depan makam Gikwang dan meletakkan jam antik itu di dekat nisan yang bertuliskan nama Lee Gikwang, 12 Februari 2012.
            “Sekarang, tanggal kematian kita berdua sama, kan? Jujur saja, aku bingung, apa aku harus mengucapkan terimakasih padamu atau aku harus bilang maaf padamu?” Aku mengelus nisan itu.
            “Di sisi lain, aku harus senang. Di sisi lain, aku juga sangat sedih karena kau mau menukar nyawaku dengan nyawamu. Sudahlah, sebaiknya aku segera pergi. Selamat tinggal, Gikwang…”
***
            Hana keluar dari pemakaman sambil membawa foto Gikwang yang berfigura. Ia masih terlihat berduka dan sesekali menitihkan air mata.
            Buk! Seseorang menabrak bahu Hana dan foto berfigura yang ia bawa terjatuh. Seketika itu, suara gemuruh di langit terdengar.
            “Oh, maafkan aku. Aku tidak sengaja. Apa kau tidak apa-apa?”
            Hana mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda yang menabraknya itu dengan heran.
            “Gi…kwang?”
            “Bagaimana kau tahu?” Pemuda itu membalas menatap Hana dengan heran pula.
            Refleks Hana memeluk pemuda yang memang serupa sekali dengan Gikwang itu. Pemuda itu terkejut.
            “Ta…tapi, siapa kau?”
            Pertanyaan yang terlontar dari pemuda itu membuat Hana terperanjat dan segera melepaskan pelukannya. “Oh, kau tidak mengenalku?”
            “Tidak. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
            Hana terdiam, mencoba menelaah hal yang baru saja ia alami. Apa waktu berputar kembali?  Sebaiknya aku segera pergi. Batinnya.
            “Eh, nona, apa kau baik-baik saja?”
            Hana mengabaikan pertanyaan pemuda itu dan tetap berjalan menjauh.
            “Aneh sekali.” Gumam pemuda itu dan beranjak dari tempatnya berdiri.
            “Eh, bukankah ini benda yang dibawa gadis tadi?” Pemuda itu menunduk dan mendapati sebuah foto dengan pecahan kaca figura di sekelilingnya. Ia memunguti fotonya.
            “Oh, orang dalam foto ini…?”
            Pemuda itu terkejut melihat sosok yang ada di dalam foto itu serupa sekali dengannya. Tidak, bukan lagi serupa. Tapi itu memang dirinya.
            “Tapi, ini, bagaimana bisa?”
            Tiba-tiba saja pemuda itu terperanjat melihat pemandangan aneh dari foto yang ia pegang. Sosok dalam foto itu perlahan lenyap. Lenyap begitu saja layaknya debu, kemudian terbang bersama semilirnya angin.
TamaT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar