Demi Anakku
Author and cover designer: anditaandante
Cast:
Jo Kwangmin as Rizky
Susilowati as Ibu Rizky
and other casts
Genre:
Family
Discalimer:
Plot milik author. FF ini dibuat karena tugas membuat cerpen. Jo Kwangmin milik Tuhan, orang tuanya, dan StarshipEnt.
fictional cast milik author.
Take with full credits.
_____________________________________________________________________________
Rizky berjalan menyusuri pinggir
jalan raya yang tak bertrotoar itu. Lalu-lalang kendaraan tak menghalangi
langkahnya untuk segera sampai ke rumah. Rasa lelah yang menggelayuti sekujur
tubuh, tak mampu ia tutupi. Polusi udara terbang beriringan bersama oksigen
yang terhirup.
“Oh, Ibu?”
Tak sengaja Rizky melihat Ibunya
sedang berjalan sambil membawa bakul jamunya. Ibu Rizky adalah seorang penjual
jamu keliling. Ia terlihat sangat kelelahan. Mungkin sudah seharian ini dia
berkeliling desa. Rizky mendekati Ibunya.
“Bu, biar Rizky bantu…”
“Tidak, Nak. Biar Ibu saja. Kamu kan
sudah seharian sekolah, pasti lelah.”
“Rizky masih kuat kok, Bu. Biar
Rizky bantu bawakan bakulnya.”
“Sudah, tak apa. Ibu masih kuat.
Rizky segera pulang saja ke rumah. Cuci tangan, cuci kaki, lalu ganti baju,
setelah itu makan! Masih ada tempe goreng. Maaf, kalau Ibu belum sempat membuat
makan siang.”
Rizky hanya diam melihat Ibunya
berbicara panjang lebar. Air mata Rizky mulai terbendung dipelupuk matanya.
Apalagi ketika Rizky melihat wajah Ibunya yang sudah mulai keriput itu,
terlihat kelelahan. Rizky tahu, Ibunya sudah bekerja keras untuknya.
“Baiklah kalau begitu. Rizky pulang
duluan.” Ujar Rizky sambil menyalami tangan kanan Ibunya.
“Iya. Hati-hati ya, Nak.” Ibu Rizky
tersenyum tabah.
***
Senja mulai menampakkan dirinya.
Mentari ingin segera mengakhiri tugasnya dan bergegas pergi menuju ufuk barat. Susilowati,
seorang peracik dan penjual jamu itu kini pulang ke rumah reyotnya, membawa
beberapa lembar uang. Rasa letih seakan tak urung pergi dari tubuhnya yang
mulai menua.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”
Rizky langsung menghampirinya dan
membawakan bakul jamu. Beberapa botolnya sudah tampak kosong.
“Ibu mandi dulu. Nanti, kaki Ibu
biar Rizky pijat.”
“Oh, ya sudah. Kamu belajar dulu
selama Ibu mandi…!”
Rizky langsung masuk ke kamar yang
tak layak ditempati itu, lalu membuka buku pelajarannya. Susilowati tersenyum
bangga dengan anak laki-laki semata wayangnya itu. Tak sia-sia ia melakukan
semua pengorbanan demi Rizky.
Setelah selesai mandi, Susilowati
berbaring sejenak diranjang yang nyaris rubuh itu. Tak lama kemudian, Rizky
masuk ke kamarnya.
“Bu, sini biar Rizky pijat kakinya.”
Susilowati meluruskan kedua kakinya.
Perlahan namun pasti, tangan Rizky memijat kaki Susilowati dengan sepenuh hati.
Setidaknya, ini bentuk bakti Rizky pada ibunya.
“Sudah, Nak. Biar Ibu pijat sendiri.
Kamu pergi belajar sana…!”
“Tak apa, Bu. Tadi, Rizky sudah
belajar.”
Susilowati akhirnya mengalah.
Sebenarnya ia hanya ingin anaknya bisa belajar dengan baik dan berkonsentrasi
penuh.
***
Jam yang terpajang di dinding dan
tampak lusuh itu menunjukkan pukul dua pagi. Namun, Susilowati sudah bangun
dari tidurnya dan bergegas menuju dapur. Setiap dini hari, ia selalu menyiapkan
barang dagangannya, yaitu jamu.
Susilowati mengambil beberapa buah
rempah khas Indonesia, membersihkannya, menumbuknya, lalu merebus air
perasannya di atas tungku pembakaran yang masih tradisional. Mata Susilowati sering
memerah karena terkena kepulan asap dan sering terbatuk. Tapi, ia tidak pernah
mengeluh dan tetap semangat meracik jamu.
Rizky masih tertidur, Susilowati
justru senang dan membiarkan anak semata wayangnya itu. Ia tak mau merepotkan
Rizky, terlebih Rizky masih bersekolah dibangku SMA. Susilowati sudah terbiasa
meracik jamunya sendiri, walaupun terkadang Rizky masih membantu. Hal itu sudah
berlangsung selama lima tahun terakhir, sejak suaminya meninggal.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan.
Susilowati segera menyiapkan bakul jamu yang biasa ia pakai untuk menjajakan
dagangannya. Sedangkan Rizky juga sudah pergi bersekolah tanpa lupa pamit. Susilowati
segera menggendong bakul jamunya dan pergi berkeliling desa.
“Jamu, jamu…” Begitulah Susilowati
meneriakkan dagangannya kepada masyarakat sekitar.
“Hai, Ibu penjual jamu. Mana
uangmu?!”
Dua orang preman yang tampak
menyeramkan itu tiba-tiba menghampiri Susilowati.
“Tidak ada.” Susilowati menggeleng.
“Halah, tidak perlu disembunyikan!
Cepat serahkan uangnya!” Preman satunya lagi kini semakin mendekati Susilowati.
“Ampun, Tuan. Jamu saya belum laku.”
Kedua preman itu kemudian mendorong
Susilowati yang bersikeras melawan preman itu. Susilowati dan bakul jamunya terjatuh,
dan ia mengaduh kesakitan.
***
“Loh? Ibu?”
Rizky terkejut ketika melihat Ibunya
sedang diganggu oleh dua orang preman tepat di depan sekolahnya. Segera ia
meminta izin satpam sekolah untuk pergi keluar.
“Hai, kalian, kembalikan uang itu!”
Sergah Rizky ketika berdiri untuk melindungi Ibunya.
“Sudah, Nak. Biarkan saja, yang
penting Ibu selamat.”
Preman itu pergi dengan senangnya
sambil memegang uang hasil rampasan.
“Eh, sudah, kamu kembali ke sekolah!
Teman-temanmu sudah menunggu.”
Rizky membantu memunguti botol-botol
jamu.
“Sudah, biar Ibu saja yang punguti.
Kamu masuk ke sekolah sana. Nanti teman-temanmu melihat.”
“Eh, memangnya kenapa, Bu? Ada yang
salah kalau mereka melihat?”
“Ibu hanya tidak ingin melihat
mereka tahu, kalau ibu Rizky adalah seorang peracik dan penjual jamu.”
Rizky terdiam sejenak mendengar Ibunya
berujar.
Tidak ada yang salah, Bu. Walaupun
ibuku adalah seorang peracik dan penjual jamu, aku tetap bangga pada Ibu. Batin
Rizky.
Rizky menyalami tangan Ibunya lalu
pergi masuk ke dalam sekolah sambil menahan air mata.
***
Siangnya, Rizky pulang kerumah dan
segera berganti pakaian. Tak lupa ia makan siang sebelum pergi mencari rumput
untuk makan seekor kambing kesayangannya. Sebenarnya, Susilowati, Ibunya tidak
memperbolehkan Rizky untuk mencari rumput lagi. Mengingat Rizky sebentar lagi
akan menghadapi UAN, ia diperintahkan untuk belajar saja.
Rizky berjalan santai sambil membawa
sebuah karung goni dan sebuah parang menuju pinggir hutan. Tak sengaja ia
melihat Ibunya sedang mencuci pakaian di halaman belakang rumah tetangga. Rizky
berusaha agar Ibunya tak melihat ia sedang berjalan untuk mencari rumput. Rizky
terdiam, tanpa sadar sebulir air matanya menetes.
Setelah mencari rumput, Rizky
berjalan pulang ke rumah dengan perasaan kalut. Kekhawatiran terhadap Ibunya
seakan menyelimuti pikirannya. Bahkan ia tak merasa keberatan memikul sekarung
penuh rumput. Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika ia berjarak sepuluh meter
dari rumah Pak RT.
Rizky melihat Ibunya sedang menyapu
di halaman rumah Pak RT. Perasaan Rizky jadi semakin kacau. Apalagi ketika ia
melihat Ibunya menyeka keringat. Sekali lagi, Rizky menitihkan air mata. Tak
terbayang bagaimana Ibunya bisa melakukan pekerjaan serabutan seperti itu. Selama
ini ia hanya tahu kalau Ibunya adalah seorang peracik jamu.
***
Malam hari menjelang, Rizky tak
tenang belajar.
“Rizky, Ibu keluar sebentar ya…”
“Mau kemana, Bu?” Serbu Rizky ketika
Ibunya baru saja melangkahkan kaki keluar rumah.
“Ke rumah Pak RT.”
“Untuk apa?” Kali ini nada bicara
Rizky penuh selidik.
“Ada urusan penting.”
“Boleh Rizky ikut?”
“Tidak usah. Rizky belajar saja di
rumah. Ibu hanya sebentar saja.”
Rizky menaruh rasa curiga pada Ibunya.
“Wassalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” Rizky
menutup pintu. Terbesit sebuah ide dikepala Rizky.
Bagaimana kalau aku ikuti Ibu
saja? Batinnya. Akhirnya ia putuskan untuk mengikuti Ibunya diam-diam.
Sesampainya di rumah Pak RT, Rizky bersembunyi dibalik pohon.
Samar-samar ia mendengar pembicaraan Ibunya dan Bu RT.
“Eh, Bu Susilowati, mari masuk...”
“Iya, Bu.”
“Oh ya, apa minyak pijatnya saya saja yang menyediakan?”
Apa? Minyak pijat? Jadi, Ibu pergi ke rumah Pak RT untuk memijat?
Ya ampun, Ibu. Batin Rizky tersentuh.
“Tidak perlu, Bu. Saya sudah bawa minyak pijatnya sendiri.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Ayo, mari masuk!”
Ibu Rizky dan Bu RT masuk ke dalam rumah, sedangkan Rizky bergegas
pulang ke rumah.
***
“Kenapa Ibu lakukan pekerjaan itu?”
Tanya Rizky ketika Susilowati baru saja menginjakkan kaki di rumah.
“Oh, pekerjaan apa?” Susilowati
tampak terkejut.
“Kenapa Ibu pergi mencuci pakaian
tetangga? Kenapa Ibu pergi menyapu dan memijat di rumah Pak RT?” Suara Rizky
mulai terisak.
“Ibu hanya…”
“Tahukah Ibu, betapa khawatirnya
Rizky terhadap kesehatan Ibu?”
“Ma…maafkan Ibu, nak. Iibu hanya
ingin membahagiakan Rizky.” Susilowati mendekati anaknya sambil menangis dan
memeluknya.
“Ibu tahu, Rizky ingin bersekolah
dengan baik. Ibu tahu, Rizky ingin meraih cita-cita Rizky. Maka dari itu, Ibu
ingin memenuhi kebutuhanmu, Nak. Ibu ingin Rizky hidup senang.” Lanjut
Susilowati.
“Tidak ada gunanya, Bu, kalau Rizky
saja yang hidup senang. Sedangkan Ibu berjuang susah payah hanya demi Rizky.
Ibu juga harus hidup senang.”
“Tidak, Nak. Itu memang kewajiban Ibu…”
“Tapi Rizky juga punya kewajiban
untuk membahagiakan Ibu.”
Tangisan Susilowati semakin
terdengar jelas. Begitu pula dengan Rizky.
“Maafkan Rizky, Bu. Seharusnya Rizky
lebih perhatian pada Ibu.”
Susilowati memeluk erat anaknya itu.
***
“Juragan, ini ada pesanan jamu dari
daerah Bogor.” Suara pria paruh baya itu membangunkan Rizky dari lamunannya.
“Oh, iya, Pak. Nanti biar saya
hubungi mereka.”
Pria paruh baya itu kemudian keluar
dari ruang kerja Rizky yang dipasangi pendingin udara itu. Rizky duduk di kursinya
yang empuk di depan meja kerja dengan sebuah laptop[1] yang
menyala. Sejak tadi pikirannya menerawang masa lalu ketika ia masih duduk di bangku
SMA. Ketika sang Ibu, Susilowati mengorbankan hidupnya demi Rizky. Bahkan Rizky
sempat menitihkan air mata.
Berkat perjuangan Ibunya sebagai
peracik jamu itulah, Rizky kini berhasil menjadi orang yang sukses. Ia membuka
sebuah perusahaan jamu dan sudah berkembang hingga skala nasional. Sekarang ia
hidup bahagia bersama keluarganya dan serba berkecukupan. Tak lupa, ia juga
membahagiakan ibunya.
“Terimakasih, Bu. Aku tetap bangga
walaupun kau hanya seorang peracik jamu…”
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar