3 Agu 2012

[Fanfiction] Demi Anakku


Demi Anakku

Author and cover designer: anditaandante

Cast:
 Jo Kwangmin as Rizky
Susilowati as Ibu Rizky
and other casts

Genre:
Family

Discalimer:
Plot milik author. FF ini dibuat karena tugas membuat cerpen. Jo Kwangmin milik Tuhan, orang tuanya, dan StarshipEnt.
fictional cast milik author.
Take with full credits.

_____________________________________________________________________________

            Rizky berjalan menyusuri pinggir jalan raya yang tak bertrotoar itu. Lalu-lalang kendaraan tak menghalangi langkahnya untuk segera sampai ke rumah. Rasa lelah yang menggelayuti sekujur tubuh, tak mampu ia tutupi. Polusi udara terbang beriringan bersama oksigen yang terhirup.


            “Oh, Ibu?”
            Tak sengaja Rizky melihat Ibunya sedang berjalan sambil membawa bakul jamunya. Ibu Rizky adalah seorang penjual jamu keliling. Ia terlihat sangat kelelahan. Mungkin sudah seharian ini dia berkeliling desa. Rizky mendekati Ibunya.
            “Bu, biar Rizky bantu…”
            “Tidak, Nak. Biar Ibu saja. Kamu kan sudah seharian sekolah, pasti lelah.”
            “Rizky masih kuat kok, Bu. Biar Rizky bantu bawakan bakulnya.”
            “Sudah, tak apa. Ibu masih kuat. Rizky segera pulang saja ke rumah. Cuci tangan, cuci kaki, lalu ganti baju, setelah itu makan! Masih ada tempe goreng. Maaf, kalau Ibu belum sempat membuat makan siang.”
            Rizky hanya diam melihat Ibunya berbicara panjang lebar. Air mata Rizky mulai terbendung dipelupuk matanya. Apalagi ketika Rizky melihat wajah Ibunya yang sudah mulai keriput itu, terlihat kelelahan. Rizky tahu, Ibunya sudah bekerja keras untuknya.
            “Baiklah kalau begitu. Rizky pulang duluan.” Ujar Rizky sambil menyalami tangan kanan Ibunya.
            “Iya. Hati-hati ya, Nak.” Ibu Rizky tersenyum tabah.
***
            Senja mulai menampakkan dirinya. Mentari ingin segera mengakhiri tugasnya dan bergegas pergi menuju ufuk barat. Susilowati, seorang peracik dan penjual jamu itu kini pulang ke rumah reyotnya, membawa beberapa lembar uang. Rasa letih seakan tak urung pergi dari tubuhnya yang mulai menua.
            “Assalamu’alaikum…”
            “Wa’alaikum salam…”
            Rizky langsung menghampirinya dan membawakan bakul jamu. Beberapa botolnya sudah tampak kosong.
            “Ibu mandi dulu. Nanti, kaki Ibu biar Rizky pijat.”
            “Oh, ya sudah. Kamu belajar dulu selama Ibu mandi…!”
            Rizky langsung masuk ke kamar yang tak layak ditempati itu, lalu membuka buku pelajarannya. Susilowati tersenyum bangga dengan anak laki-laki semata wayangnya itu. Tak sia-sia ia melakukan semua pengorbanan demi Rizky.
            Setelah selesai mandi, Susilowati berbaring sejenak diranjang yang nyaris rubuh itu. Tak lama kemudian, Rizky masuk ke kamarnya.
            “Bu, sini biar Rizky pijat kakinya.”
            Susilowati meluruskan kedua kakinya. Perlahan namun pasti, tangan Rizky memijat kaki Susilowati dengan sepenuh hati. Setidaknya, ini bentuk bakti Rizky pada ibunya.
            “Sudah, Nak. Biar Ibu pijat sendiri. Kamu pergi belajar sana…!”
            “Tak apa, Bu. Tadi, Rizky sudah belajar.”
            Susilowati akhirnya mengalah. Sebenarnya ia hanya ingin anaknya bisa belajar dengan baik dan berkonsentrasi penuh.
***
            Jam yang terpajang di dinding dan tampak lusuh itu menunjukkan pukul dua pagi. Namun, Susilowati sudah bangun dari tidurnya dan bergegas menuju dapur. Setiap dini hari, ia selalu menyiapkan barang dagangannya, yaitu jamu.
            Susilowati mengambil beberapa buah rempah khas Indonesia, membersihkannya, menumbuknya, lalu merebus air perasannya di atas tungku pembakaran yang masih tradisional. Mata Susilowati sering memerah karena terkena kepulan asap dan sering terbatuk. Tapi, ia tidak pernah mengeluh dan tetap semangat meracik jamu.
            Rizky masih tertidur, Susilowati justru senang dan membiarkan anak semata wayangnya itu. Ia tak mau merepotkan Rizky, terlebih Rizky masih bersekolah dibangku SMA. Susilowati sudah terbiasa meracik jamunya sendiri, walaupun terkadang Rizky masih membantu. Hal itu sudah berlangsung selama lima tahun terakhir, sejak suaminya meninggal.
            Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Susilowati segera menyiapkan bakul jamu yang biasa ia pakai untuk menjajakan dagangannya. Sedangkan Rizky juga sudah pergi bersekolah tanpa lupa pamit. Susilowati segera menggendong bakul jamunya dan pergi berkeliling desa.
            “Jamu, jamu…” Begitulah Susilowati meneriakkan dagangannya kepada masyarakat sekitar.
            “Hai, Ibu penjual jamu. Mana uangmu?!”
            Dua orang preman yang tampak menyeramkan itu tiba-tiba menghampiri Susilowati.
            “Tidak ada.” Susilowati menggeleng.
            “Halah, tidak perlu disembunyikan! Cepat serahkan uangnya!” Preman satunya lagi kini semakin mendekati Susilowati.
            “Ampun, Tuan. Jamu saya belum laku.”
            Kedua preman itu kemudian mendorong Susilowati yang bersikeras melawan preman itu. Susilowati dan bakul jamunya terjatuh, dan ia mengaduh kesakitan.
***
            “Loh? Ibu?”
            Rizky terkejut ketika melihat Ibunya sedang diganggu oleh dua orang preman tepat di depan sekolahnya. Segera ia meminta izin satpam sekolah untuk pergi keluar.
            “Hai, kalian, kembalikan uang itu!” Sergah Rizky ketika berdiri untuk melindungi Ibunya.
            “Sudah, Nak. Biarkan saja, yang penting Ibu selamat.”
            Preman itu pergi dengan senangnya sambil memegang uang hasil rampasan.
            “Eh, sudah, kamu kembali ke sekolah! Teman-temanmu sudah menunggu.”
            Rizky membantu memunguti botol-botol jamu.
            “Sudah, biar Ibu saja yang punguti. Kamu masuk ke sekolah sana. Nanti teman-temanmu melihat.”
            “Eh, memangnya kenapa, Bu? Ada yang salah kalau mereka melihat?”
            “Ibu hanya tidak ingin melihat mereka tahu, kalau ibu Rizky adalah seorang peracik dan penjual jamu.”
            Rizky terdiam sejenak mendengar Ibunya berujar.
            Tidak ada yang salah, Bu. Walaupun ibuku adalah seorang peracik dan penjual jamu, aku tetap bangga pada Ibu. Batin Rizky.
            Rizky menyalami tangan Ibunya lalu pergi masuk ke dalam sekolah sambil menahan air mata.
***
            Siangnya, Rizky pulang kerumah dan segera berganti pakaian. Tak lupa ia makan siang sebelum pergi mencari rumput untuk makan seekor kambing kesayangannya. Sebenarnya, Susilowati, Ibunya tidak memperbolehkan Rizky untuk mencari rumput lagi. Mengingat Rizky sebentar lagi akan menghadapi UAN, ia diperintahkan untuk belajar saja.
            Rizky berjalan santai sambil membawa sebuah karung goni dan sebuah parang menuju pinggir hutan. Tak sengaja ia melihat Ibunya sedang mencuci pakaian di halaman belakang rumah tetangga. Rizky berusaha agar Ibunya tak melihat ia sedang berjalan untuk mencari rumput. Rizky terdiam, tanpa sadar sebulir air matanya menetes.
            Setelah mencari rumput, Rizky berjalan pulang ke rumah dengan perasaan kalut. Kekhawatiran terhadap Ibunya seakan menyelimuti pikirannya. Bahkan ia tak merasa keberatan memikul sekarung penuh rumput. Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika ia berjarak sepuluh meter dari rumah Pak RT.
            Rizky melihat Ibunya sedang menyapu di halaman rumah Pak RT. Perasaan Rizky jadi semakin kacau. Apalagi ketika ia melihat Ibunya menyeka keringat. Sekali lagi, Rizky menitihkan air mata. Tak terbayang bagaimana Ibunya bisa melakukan pekerjaan serabutan seperti itu. Selama ini ia hanya tahu kalau Ibunya adalah seorang peracik jamu.
***
            Malam hari menjelang, Rizky tak tenang belajar.
            “Rizky, Ibu keluar sebentar ya…”
            “Mau kemana, Bu?” Serbu Rizky ketika Ibunya baru saja melangkahkan kaki keluar rumah.
            “Ke rumah Pak RT.”
            “Untuk apa?” Kali ini nada bicara Rizky penuh selidik.
            “Ada urusan penting.”
            “Boleh Rizky ikut?”
            “Tidak usah. Rizky belajar saja di rumah. Ibu hanya sebentar saja.”
            Rizky menaruh rasa curiga pada Ibunya.
            “Wassalamu’alaikum…”
            “Wa’alaikum salam…” Rizky menutup pintu. Terbesit sebuah ide dikepala Rizky.
 Bagaimana kalau aku ikuti Ibu saja? Batinnya. Akhirnya ia putuskan untuk mengikuti Ibunya diam-diam.
Sesampainya di rumah Pak RT, Rizky bersembunyi dibalik pohon. Samar-samar ia mendengar pembicaraan Ibunya dan Bu RT.
“Eh, Bu Susilowati, mari masuk...”
“Iya, Bu.”
“Oh ya, apa minyak pijatnya saya saja yang menyediakan?”
Apa? Minyak pijat? Jadi, Ibu pergi ke rumah Pak RT untuk memijat? Ya ampun, Ibu. Batin Rizky tersentuh.
“Tidak perlu, Bu. Saya sudah bawa minyak pijatnya sendiri.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Ayo, mari masuk!”
Ibu Rizky dan Bu RT masuk ke dalam rumah, sedangkan Rizky bergegas pulang ke rumah.
***
            “Kenapa Ibu lakukan pekerjaan itu?” Tanya Rizky ketika Susilowati baru saja menginjakkan kaki di rumah.
            “Oh, pekerjaan apa?” Susilowati tampak terkejut.
            “Kenapa Ibu pergi mencuci pakaian tetangga? Kenapa Ibu pergi menyapu dan memijat di rumah Pak RT?” Suara Rizky mulai terisak.
            “Ibu hanya…”
            “Tahukah Ibu, betapa khawatirnya Rizky terhadap kesehatan Ibu?”
            “Ma…maafkan Ibu, nak. Iibu hanya ingin membahagiakan Rizky.” Susilowati mendekati anaknya sambil menangis dan memeluknya.
            “Ibu tahu, Rizky ingin bersekolah dengan baik. Ibu tahu, Rizky ingin meraih cita-cita Rizky. Maka dari itu, Ibu ingin memenuhi kebutuhanmu, Nak. Ibu ingin Rizky hidup senang.” Lanjut Susilowati.
            “Tidak ada gunanya, Bu, kalau Rizky saja yang hidup senang. Sedangkan Ibu berjuang susah payah hanya demi Rizky. Ibu juga harus hidup senang.”
            “Tidak, Nak. Itu memang kewajiban Ibu…”
            “Tapi Rizky juga punya kewajiban untuk membahagiakan Ibu.”
            Tangisan Susilowati semakin terdengar jelas. Begitu pula dengan Rizky.
            “Maafkan Rizky, Bu. Seharusnya Rizky lebih perhatian pada Ibu.”
            Susilowati memeluk erat anaknya itu.
***
            “Juragan, ini ada pesanan jamu dari daerah Bogor.” Suara pria paruh baya itu membangunkan Rizky dari lamunannya.
            “Oh, iya, Pak. Nanti biar saya hubungi mereka.”
            Pria paruh baya itu kemudian keluar dari ruang kerja Rizky yang dipasangi pendingin udara itu. Rizky duduk di kursinya yang empuk di depan meja kerja dengan sebuah laptop[1] yang menyala. Sejak tadi pikirannya menerawang masa lalu ketika ia masih duduk di bangku SMA. Ketika sang Ibu, Susilowati mengorbankan hidupnya demi Rizky. Bahkan Rizky sempat menitihkan air mata.
            Berkat perjuangan Ibunya sebagai peracik jamu itulah, Rizky kini berhasil menjadi orang yang sukses. Ia membuka sebuah perusahaan jamu dan sudah berkembang hingga skala nasional. Sekarang ia hidup bahagia bersama keluarganya dan serba berkecukupan. Tak lupa, ia juga membahagiakan ibunya.
            “Terimakasih, Bu. Aku tetap bangga walaupun kau hanya seorang peracik jamu…”
Tamat



Tidak ada komentar:

Posting Komentar