28 Feb 2014

[Fanfiction] Behind the Door


Tittle: Behind The Door
Scriptwriter + cover: @andditaa
Cast:
  • Byun Baekhyun [EXO]
  • Lee Younghee (OC)
  • Kim Jongin [EXO]
Genre: Tragedy, Horror, Mystery, Hurt/Comfort
Duration: 4486w (oneshot)
Rating: PG-15/PG-17
Disclaimer: Byun Baekhyun dan Kim Jongin milik SM dan ortunya. OC serta plot sah milik saya.
Summary: Pintu berwarna putih tulang. Gadis yang selalu berpenampilan sama. Seruan-seruan misterius yang mengganggu Baekhyun. Apartment kosong? Aroma mencurigakan? Akhirnya, hati Jongin yang terluka.

***
Sebuah daun pintu berwarna putih tulang. Satu-satunya yang berbeda. Untuk kesekian kalinya aku duduk memandangi benda mati itu setiap kusambangi apartment milik seorang teman. Hari ini, aku datang lebih awal dan temanku belum tiba di apartmentnya. Alhasil, aku duduk melantai di sebelah pintu apartementnya yang berhadapan langsung dengan apartment berpintu putih tulang itu.
Bukan daun pintunya, tapi seorang gadis yang -sepengatahuanku- tinggal di baliknya. Pernah dalam satu kesempatan, tak sengaja aku hampir menabraknya di tikungan lorong ketika aku berlari tergesa di gedung apartment ini. Kedua manik mata hitam milik gadis itu hanya membalas tatapanku sekilas. Namun dalam hitungan sekon tersebut, suatu daya tarik aneh mengusik batinku. Walaupun ia segera beralih pergi, kedua mataku terus mengekori dirinya. Sejak saat itu, tak tahu mengapa setiap kukunjungi gedung apartment ini aku selalu ingin menyempatkan diri melihatnya.
Jarum di jam tanganku menunjuk pukul sebelas malam. Langit jelas sudah gelap. Bulan bersanding rapi bersama bintang. Udara dingin sesekali menusuk-nusuk tulang. Aku masih duduk diam menunggu. Temanku belum juga tiba dan pemilik pintu apartment berwarna putih tulang itu juga tak kunjung muncul.
Tiba-tiba telepon genggamku bergetar. Temanku itu menelpon.
“Cepatlah pulang! Atau kurusak pintu apartmentmu!” Omelku cepat lebih dulu sebelum ia buka suara.
“Baiklah, baiklah! Aku tiba disana sebentar lagi.” Sahutnya.
“Dimana kau sekarang?!” Tanyaku. Aku bangkit dari duduk. Kupikir temanku itu mungkin tak jauh dari gedung apartment.
“Di jalan.”
Derap langkah kaki yang menapaki anak tangga mengganggu gendang telingaku. Gedung apartment sudah sepi, makanya suara sekecil itu bisa terdengar.
Apa itu temanku? Tanpa komando, aku setengah berlari menuju sumber suara. Tapi apa yang kudapati? Aku berhenti melangkah dibelokkan lorong dan memperhatikan seseorang yang tengah menapaki tangga satu per satu.
Gadis pemilik apartment berpintu putih tulang.
Hawa dingin menyusup lewat pori-pori dan menyentuh lembut kulitku. Gadis itu sudah sampai di ujung tangga. Sebelum ia melangkah lagi, ia bergeming di tempat. Ludah terasa berat kutelan. Apa dia merasa aku perhatikan? Selang detik berikutnya, ia berjalan melewatiku dengan tenang dan dingin, serta kepala tertunduk, hingga tersisa sedikit wajah putihnya yang terlihat karena rambutnya yang tergerai panjang ikut menutupi.
Sama seperti hari-hari sebelumnya saat aku bertemu gadis itu di gedung ini. Ia mengenakan atasan sweater berwarna abu-abu tua yang kelihatan besar di tubuhnya, jeans yang dikedua lututnya sedikit robek, tas selempang kain berwarna hitam-digantung dibahu kanan, dan sepasang sepatu sneakers hitam-putih kusam melindungi kaki-kakinya. Dengan cekatan ia memasukkan kunci ke dalam lubang knop pintu apartmentnya. Aku bertahan memperhatikannya.
“YAA!!!”
Jelas aku terlonjak kaget dan kedua bola mataku melotot menatap seorang di sebelahku-yang kedua tulang pipinya naik turun menertawaiku.
“Sial, kau!!” Umpatku dan memukul kepalanya.
Berdalih kesakitan, ia menghindar dan tetap tak berhenti tertawa.
Sempat aku menoleh hendak melihat pemilik apartment pintu putih tulang itu, namun ia tak disana dan pintu putih tulangnya tertutup rapat.Gadis itu… apa ia sudah masuk ke dalam apartmentnya?
“Makanya jangan suka diam melamun seperti itu!” Ledek Jongin sambil berusaha menahan tawa.
Aku memandang Jongin sarkatis. “Cepat kau buka pintu! Atau akan kumakan kau hidup-hidup! Ini sudah hampir tengah malam, bocah!” Lagi pula, aku tak melamun. Aku sedang melihat gadis yang tinggal di depan apartmentmu!
Bergegaslah si tengik menuju pintu apartmentnya dan aku mengekori. Ketika aku berdiri di sebelah Jongin, memunggungi pintu putih tulang itu, sesuatu tertangkap di sudut mata kiriku. Lantas aku menoleh ke arah kiri, melihat di belokkan lorong gedung apartment yang temaram. Tak ada apapun di sana. Aku tidak mengerti kenapa kedua mataku sulit untuk berpaling walau pandanganku tak menangkap apa-apa.
“Byun-nim, tidak mau masuk?” Jongin mengekoriku memandang ke arah yang sama dengan heran. “Ada apa?”
Pertanyaan Jongin tak kujawab.
Kedua bibirku hanya mengatup rapat, masih menatap belokkan lorong itu. Sesuatu yang ditangkap sudut mataku tadi… itu apa?
Detik berikutnya, tanpa ampun Jongin menarik kerah jaketku dan menyeretku masuk ke dalam apartmentnya. “Sudah kubilang, kau terlalu banyak melamun!”
Sebelum pintu tertutup rapat, sosok gadis pemilik apartment pintu putih tulang itu nampak dari celah yang tersisa-tengah menghadap pintu apartment Jongin dan berdiri dalam diam dengan kepala tertunduk dalam. Aku berusaha berontak untuk memastikan apa yang kulihat, tapi si bocah tengik bersikeras memaksaku segera masuk. Pintu apartment Jongin akhirnya tertutup rapat.
***
Baekhyun-ssi…
“Sebaiknya kita pergi ke klinik.”
Baekhyun-ssi…
“Demammu tinggi, hyung!”
Aku…
“Tidak akan mempan kalau hanya dikompres air dingin.”
Kumohon… Baekhyun-ssi…
“Hyung, kau baik-baik saja?! Kenapa kau kejang-kejang?! Bangun, Hyung!!”
Kumohon… tolong aku… tolong…
Aku terlonjak bangun dari tidur. Membuat Jongin yang duduk di sisiku terkejut setengah mati dan ketakutan melihatku menatapnya dengan mata merah. Tubuhku berkeringat, napasku satu-satu dan terasa sesak. Mulutku enggan buka suara.
Jongin mendekatiku hati-hati. Perlahan urutan napasku mulai normal.
“Kau mimpi buruk?” Tanya Jongin, memandangku prihatin.
Jawabannya tergantung begitu saja di ujung lidahku, sulit terucap karena aku tak yakin. Mataku basah. Lantas, aku kembali membaringkan diri, berusaha menenangkan jiwa dan membiarkan barisan pertanyaan tentang suara seorang gadis dalam bunga tidurku mengambang di udara. Hari telah berganti rupanya.
***
Apartment milik Jongin sangat sepi dan membosankan. Si empunya sudah pergi melakukan rutinitas harian: kuliah, pergi ke dance academy dan mengerjakan tugas hingga nanti malam ia baru pulang. Betapa teganya ia meninggalkankusendirian di rumah dan tentu saja aku tak bisa menyetir ke rumahku sendiri dalam keadaan tak enak badan seperti ini. Seharusnya aku tak menolak tawarannya untuk mengantarkanku ke klinik. Alhasil, kerjaanku hanya bermalasan di atas sofa dan menonton televisi.
Tiba-tiba sebuah teriakan nyaring menusuk gendang telingaku. Jelas aku terkejut dan mendengar orang-orang di luar apartment kasak-kusuk. Aku pergi keluar, mengecek keadaan.
“Anak muda, apa teriakan wanita tadi berasal dari apartmentmu?” Seorang pria paruh baya langsung bertanya ketika aku keluar.
Aku menggeleng, “Tidak. Aku sendirian di dalam. Aku pikir dari apartment lain.”
Beberapa orang tua pemilik apartment saling bertanya dan menduga.
Kudekati seorang pria yang kelihatannya adalah seorang penjaga keamanan di gedung ini. “Permisi, sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Tanyaku padanya.
Pria itu memandangku acuh tak acuh, “Entahlah. Tidak ada yang merasa teriakan tadi berasal dari apartmentnya. Mungkin dari gedung sebelah.”
“Tidak. Aku sudah mengecek. Dan gedung sebelah tidak mendengar suara teriakan apapun.” Potong seorang pria muda yang terlihat sebayaku, sebelum aku hendak berbicara.
Wajah sang penjaga keamanan berubah cemas. Membuatku tertegun di tempat. Sial! Aku teringat kembali dengan bunga tidurku yang busuk itu.
“Aah, sudahlah. Sebaiknya kita kembali ke apartment masing-masing. Mungkin hanya suara wanita yang lewat di depan gedung ini. Ayo, sudahlah. Kembali beraktivitas!”
Setelah usulan bijak dari pria penjaga keamanan itu, gedung apartment lengang. Gesekan dedaunan dari pohon besar di sebelah gedung terdengar lirih ditiup semilir angin sore.Langkah-langkah kakiku terasa berat berjalan, bahkan untuk semeter menuju pintu apartment Jongin.
Teriakan nyaring kembali memekakkan telingaku ketika aku hendak membuka pintu apartment Jongin. Terasa sangat dekat hingga aku refleks menutup telinga. Kenapa kali ini tidak ada orang yang keluar dari apartmentnya?
“Baekhyun-ssi…”
Aku tersentak, seperti kembali tersadar dari alam bawah sadar. Aku tak mengerti sehingga perasaan takut mulai menjalari diriku. Kenapa ada suara aneh itu lagi? Suara asing yang memanggil-manggil namaku, persis dalam mimpiku? Kutelan saliva dengan susah payah.
Ketika aku baru saja ingin menekan knop pintu apartment, suara derap langkah kaki mengusik telingaku. Aku menoleh dengan hati-hati ke arah belokkan lorong tangga. Apa yang kulihat? Si gadis apartment berpintu putih tulang. Ia berjalan mendekat, dengan langkah satu-satu dan kepala yang tertunduk. Genggaman tanganku di knop pintu apartment Jongin semakin erat tanpa kusadar. Semakin pendek jarakku dan jaraknya, jantungku berdegup lebih kencang. Sampai ia berdiri diam memunggungiku di depan pintu putih tulangnya, aku masih bertahan di tempat untuk beberapa menit berikutnya.
“Maaf…”
Tubuhku menegang. Gadis di balik punggungku bersuara untuk paling pertama kalinya. Suara yang lirih, agak bergetar dan terdengar ragu.
Aku balik badan perlahan. Tapi ia bertahan pada posisinya-memunggungiku.
“Ne…?” Sahutku dan aku menunggu jawabannya sekitar sepuluh detik lamanya.
Drrt… Drrt…
Vibrasi telepon genggam mengagetkanku. Segera kuangkat setelah aku membelakangi si gadis apartment berpintu putih tulang.
“Hyung, kau sudah baikan?” Suara Jongin di seberang sana.
“Ne.”
“Benarkah? Kalau begitu aku segera pulang.”
Dan sambungan diputus.
“Jadi…?”
Sontak aku menjatuhkan telepon genggamku. Kalimatku menggantung dan tanpa sadar aku mundur hingga punggungku menabrak pintu apartment Jongin. Mataku membulat heran. Terkejut bukan main ketika aku berbalik, tak mendapati siapa pun di hadapanku, hanya pintu putih tulang yang tetap tertutup rapat. Aliran darahku berdesir cepat. Pikiranku tiba-tiba kosong dan suhu tubuhku terasa naik walaupun semilir angin dingin membelai kulitku.
Lalu kemana gadis apartment berpintu putih tulang itu yang selalu hadir dengan penampilan persis sama setiap aku bertemu dengannya?
Terlalu kaget, aku beringsut duduk tersandar di pintu apartment Jongin. Tubuhku lemas dan kepalaku berputar. Demamku kembali tinggi dan selanjutnya aku tak sanggup membuka mata kecuali mendengar samar suara panik Jongin yang semakin mendekat.
***
            Daun pintu apartment Jongin terbuka sedikit ketika aku membuka mata. Menyisakan celah sekitar dua puluh sentimeter dan tentu hawa dingin malam menyelinap masuk dengan leluasa. Kurapatkan selimut yang dikemulkan Jongin ketubuhku. Kejadian sore tadi kembali berputar di kepalaku.
“Jongin-ah!” Panggilku dan tak ada jawaban.Kemana perginya bocah itu?
Aku memandangi celah pintu apartment yang entah mengapa sangat mengusik ketenanganku. Kalau ada Jongin, sudah kusuruh ia segera menutup pintu dan menguncinya.
Sekali lagi kuseru, “Jongin-ah!” Tapi tetap tak ada sahutan.
Dengan sisa tenaga, aku mencoba bangkit berdiri. Berjalan gontai menuju pintu. Ketika aku berdiri di dekat daun pintu apartment Jongin, sebuah pemandangan misterius membuatku menelan ludah. Pintu putih tulang yang berada di seberang tengah terbuka, menyisakan sedikit celah yang tampak temaram dari luar.
“Baekhyun-ssi…”
Sial! Secepat kilat kututup pintu hingga daun pintunya terbanting keras. Suara asing itu lagi.
“Hyung?!”
Jongin mengetuk pintu yang baru saja kubanting dari luar dengan panik. Lantas, hati-hati kubuka pintu.
“Ada apa?! Kenapa kau membanting pintu?” Serobot Jongin, terdengar cemas.
Aku diam memandang Jongin yang tubuhnya sedikit lebih jangkung dariku.
“Hyung…?”
Apa sebaiknya memang kutanyakan saja soal gadis misterius itu?
“Kau tahu pemilik apartment itu?” Mataku beralih memandang pintu putih tulang yang berada di balik punggung Jongin, yang ternyata telah tertutup rapat. Serta merta Jongin mengikuti arah pandanganku.
“Hyung…” Jongin menggantung kalimatnya. Ia menatapku bingung.
“Setahuku tak ada yang tinggal di sana.”
Detakan jantungku seperti terhenti sesaat setelah Jongin menyelesaikan kalimatnya. Mataku bulat tepat memandang kedua mata Jongin.
“Jangan bercanda!”
Jongin menggeleng yakin. “Memangnya ada apa dengan apartment itu?”
Aku mengalihkan pandanganku. Ini tidak masuk akal! Apa hanya aku sendiri yang melihat gadis itu memasukkan kunci ke knop pintu?
“Hyung… jangan menakutiku!”
***
            Tepat pukul sebelas malam. Dengan tekat bulat kutegarkan diri bangkit dari tempat tidur dan pergi keluar kamar, meninggalkan Jongin yang tertidur pulas.Tubuhku memang belum pulih sepenuhnya, tapi rasa penasaran yang terus mengganggu tak mampu lagi kubendung. Lantas kubuka pintu apartment dengan degupan jantung yang tak karuan dan dahi yang terasa basah.
Decitan pintu apartment yang tengah kubuka memecah keheningan malam. Pintu apartment berwarna putih tulang menyambutku dalam diam. Hawa dingin menerpa wajahku.
Terasa berat kutelan ludah.
“Baekhyun-ssi…”
Refleks aku meringis. Seruan itu. Bisikan itu. Suara gadis itu. Lagi-lagi berputar di kepalaku. Apa aku sudah tidak waras?!
Untuk kesekian kalinya, derap langkah kaki kembali menembus gendang telingaku. Sengaja aku diam di tempat dan spekulasiku tepat. Gadis itu lagi.  Ia berjalan satu-satu dengan kepala yang tertundukmenapaki anak tangga.
Ini aneh. Kenapa aku selalu bertemu dengannya saat ia tengah menapaki tangga? Padahal tadi siang aku sudah melihatnya? Kenapa ia datang lagi?
Kali ini sedikit berbeda. Aku tak berhenti menatap gadis itu dengan penuh selidik, walau cairan amis dalam tubuhku berdesir-desir dan sentuhan menggelitik angin membuat rambut halus di tengkukku menari kaku.Kedua mataku tetap mengekorinya sampai ia berdiri di depan pintu apartmentnya, tepat di hadapanku.Apa yang dikatakan Jongin bisa saja salah. Tidak mungkin apartment berpintu putih tulang itu kosong, padahal ada seorang gadis yang tinggal di sana.
Gadis itu memasukkan kunci ke lubang knop pintunya.
Kedua kakiku melangkah kaku mendekati gadis itu. Mendekatinya? Ya, kesadaranku mungkin tidak seratus persen normal. Tapi harus kudapatkan kepastian itu, agar tak ada lagi presepsi liar dalam kepalaku. Siapa dirinya yang sebenarnya.
Angin bertiup membuat dedaunan saling bergesekan dan cahaya bulan meredup karena awan kelabu melintasinya. Jantung yang berdegup tak karuan membuat napasku sesak. Aku telah berdiri dalam keheningan, tepat di balik punggung sang gadis misterius. Uluran tangan kananku bergetar, namun keingintahuan mengalahkan segalanya, hingga telapakku tinggal sejengkal lagi menyentuh pundak kanan gadis di hadapanku.
Kuhela napas seraya berhitung dalam hati dan memejamkan mata.
Satu… dua… tiga!
Kubuka mata. Gadis itu tak ada. Hanya pintu putih tulang yang tetap bergeming dan tangan kananku yang masih di udara. Apa aku berhalusinasi? Jelas ada gadis itu di hadapanku tadi.
Maka dengan bingung dan diri diliputi rasa takut, aku memberanikan diri melangkah maju, mendekati daun pintu putih tulang itu. Menyentuhnya hati-hati dengan ujung-ujung jemari, lantas menempelkan daun telingaku walau terasa sangat dingin. Tidak ada yang aneh dengan daun pintunya.
Saat kugenggam knop pintu putih tulang itu dan tak sengaja terputar, pintunya terbuka. Sempat aku mundur selangkah. Kegelapan menyapa dari balik daun pintu putih tulang itu.
“Baekhyun-ssi…”
“N-nuguseyo?” Ujarku ragu.Jadi ada orang di dalam…?
“Tolong…”
Seruan lirih itu membuat tubuhku menegang. Gemerisik dedaunan berteriak-teriakmenyertai rasa takutku. Hawa dingin malam semakin memelukku erat. Angin terus menerus bergemuruh kencang. Bahkan sempat guntur menggelegar di angkasa. Kenapa? Kenapa suara mohon pertolongan itu lagi?
“Ada orang di dalam…?”
“Tolong aku… Baekhyun-ssi…”
Bagaimana bisa suara asing itu tahu namaku? Dan mengapa kakiku terasa ringan melangkah masuk apartment berpintu putih tulang ini? Walau aku sadar, aku ketakutan?
“Siapa…? Dimana…?”
Gulita. Lantai yang sangat dingin. Hanya ada berkas cahaya rembulan yang mencuri celah diantara dua tirai jendela.
“Baekhyun-ssi… Aku di sini… Tolong aku…”
Bisikan itu berputar di kepalaku. Dekat dan semakin terdengar jelas. Sempat aku memindai sekelilingku dengan cemas.
“S-siapa kau?!”
Brak!
            Sontak aku berbalik badan. Bola mataku membulat sempurna tatkala pintu putih tulang itu tertutup. Bergegas aku memutar knopnya. Panik semakin menjalariku saat aku sadar, pintu putih tulang di depanku terkunci. Sial!
“Baekhyun-ssi… Aku di sini… Tolong aku…”
“Aargh!! Siapa kau?! Kenapa kau lakukan ini padaku?!” Rontaku persis seperti orang tak waras. Tak tahu pula aku berteriak pada siapa.
Sebuah siluet terlihat semakin mendekat. Dekat, dekat, dekat, membuatku mundur hingga punggungku menempel tegang di pintu.
“Siapa kau?!” Usahaku membuka pintu tetap sia-sia.Keringat dingin membanjiri dahiku.
Bayangan itu berhenti di hadapanku, berdiri bergeming di atas seberkas cahaya rembulan yang terpantul di lantai. Aku termangu untuk beberapa sekon. Gadis itu. Wajah putih pucat yang dilinangi buliran air bening dari matanya. Serta penampilan yang sama. Tapi, mengapa ia menatapku pilu, penuh harap?
“K-kau…?”
“HYUNG! KAU DI DALAM! JAWAB AKU!!”
Teriakan Jongin dan gedoran pintu di luar bahkan tak membuatku tertarik sama sekali. Tubuhku tetap bergeming.
“Tolong aku…”
Gadis itu berujar lirih.
“Siapa kau?”
“Tolong aku…”
Brak! Pintu di belakangku dibanting. Tak sampai dua detik, kurasakan Jongin mengguncang-guncangkan tubuhku. Ia panik, cemas, melihatiku layaknya aku adalahorang yang baru saja selamat dari maut.
“Hyung…?” Kedua mata Jongin membulat, nampak berair.
“Jangan macam-macam, anak muda! Kenapa kau berani masuk apartment ini?!”
Pria itu, yang pernah kutanyai perihal pekikan nyaring sore tadi. Bentakkannya menyiratkan kecemasan dan ketakutan. Orang-orang segedung apartment ini berkumpul di luar, ikut memandangiku serta membicarakanku.
Kenapa mereka? Apa mereka tak lihat ada gadis itu di sana? Gadis pemilik apartment ini?
“Ada yang tinggal di apartment ini.” Gumamku pada Jongin.
Jongin kaget, air wajahnya menggambarkan hal itu. Bahkan tersirat rasa takut di sana.
“Tapi… mereka semua bilang apartment ini kosong, hyung!” Argumen Jongin berlawanan denganku.
“Dia di sana.”
“Hyung!” Jongin tak berniat berbalik ke arah yang kutunjuk.
“Dia ada Kim Jongin! Percayalah padaku!!” volume suaraku meninggi.
Aku mulai berontak. Frustasi karena dugaanku benar -hanya aku yang melihat gadis itu. Orang-orang mulai menahan kedua lenganku saat aku bersikeras hendak menunjukkan gadis itu. Mereka menarikku paksa keluar dari apartment. Gadis itu masih di sana. Menangis dalam keheningan dan  berkas cahaya bulan yang lambat laun menghilang, membuat dirinya semakin tak terlihat. Gelap.
“Jongin-ah, sudahkukatakan, tolong jaga dia baik-baik. Aku khawatir dengan keadaannya.”
Jongin, dan pria penjaga keamanan gedung apartment masih mengelilingiku yang terduduk lemah di atas sofa, di ruang tengah apartment Jongin. Demamku kembali tinggi dan energi dalam tubuhku hanya cukup untuk menangkap pembicaraan mereka walau kedua kelopak mataku setengah tertutup.
“Tapi… sebenarnya ada apa dengan apartment itu? Kenapa Baekhyun hyung bisa masuk ke sana padahaltempat itu kosong dan selalu terkunci?”
“Sudahlah. Itu tidak penting. Yang jelas, segera bawa ia kembali ke tempat tinggalnya!”
***
            Aku mengerti mengapa pagi ini Jongin tak pergi kuliah dan setia di sampingku. Beberapa orang berkumpul di luar apartment Jongin, sekedar ingin melihat keadaanku atau mereka masih merasa penasaran, aku paham alasannya. Apa lagi kalau bukan karena kejadian dini hari tadi.
“Kajja!” Jongin ikut berjalan bersamaku, menuruni anak-anak tangga, menuju mobil sedan hitamku yang terparkir di muka gedung apartment ini.
“Kau yang menyetir?” Tanyaku tak yakin ketika kusadari Jongin membukakan pintu mobil belakang untukku. Bukannya apa, aku hanya tak bisa mempercayai bocah satu ini.
“Kau masih sakit. Tidak ada pilihan lain dan kau harus segera pulang!”Agak sedikit kasar Jongin memaksaku duduk, dan ia segera menutup pintu mobil. Lantas, ia pergi duduk di kursi kemudi.
“Payah! Aku lupa kunci mobilnya. Hyung, kau tunggu sebentar!”
Kulihat Jongin bergegas lari memasuki gedung apartment. Aku menyandarkan punggung, merasakan kedua mataku terasa panas karena kurang tidur.
Sudah lebih dari lima menit, dan Jongin belum kembali. Karenanya, aku mendongak, melihat ke arah lorong lantai dua gedung apartment. Nampak sepi, sampai kedua mataku menangkap seseorang tengah berdiri-memandang ke arahku.
Gadis itu lagi.Tatapannya, masih sama saat aku terakhir kali melihatnya. Begitu pula dengan penampilannya.Dan ternyata, rasa takut sudah bisa kukendalikan hingga aku bertahan, balas melihatinya.
“Jangan pergi… tolong aku…” Lirihan itu kembali menembus gendang telingaku.
Aku bertahan memperhatikannya. Kubuka pintu, dan dengan yakin keluar dari mobil.
Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau terus menggangguku?Rasa penasaran itu ternyata masih ada. Membuat langkahku cukup pasti menapaki anak tangga, hendak menyusul sosok gadis yang kuharap kali ini ia tak menghilang lagi.
Napasku sedikit terengah saat aku sudah sampai di lantai dua gedung apartment. Dan gadis itu sudah menghadap ke arahku, namun ada ruang sepanjang tiga meter diantara kami.
“Siapa kau?” Tanyaku, tanpa ragu.
“Baekhyun-ssi…”
Aku terperangah. Mataku membulat. Refleks aku mundur satu langkah, tatkala gadis itu maju selangkah.
“Kau… apa sebenarnya kau ini? Kenapa kau selalu muncul di depanku?”
Gadis itu menutup mulut-diam. Namun kedua iriscoklat gelap matanya memandangku dalam dan penuh rasa memohon. Hingga buliran air mata kembali mengaliri kedua pipinya.
“Tidak bisakah kau menyelamatkanku? Aku hanya ingin bebas.”
“B-bebas?”
Telunjuk tangan kanan gadis itu tepat mengarah ke pintu putih tulang apartmentnya. Membuatku ikut menoleh ke arah pintu itu.
“Maksudmu… kau ingin aku membukakan pintu itu?”
Sebuah anggukan menjawab pertanyaanku.
Aku menelan ludah, lalu melangkah hati-hati menuju pintu itu. Lantas memutar knopnya.Aneh! Ini terbuka! Untuk kesekian kalinya, saat aku hendak melihat ke arah gadis itu, sosoknya tak di sana. Ia hilang.
Hawa dingin kembali terasa ketika aku berdiri sejajar dengan celah pintu putih tulang yang tengah terbuka. Aku mengusap belakang leherku, merasakan tubuhku merinding tak karuan. Jadi benar, ia bukan makhluk sepertiku. Tapi… kenapa ia ingin bebas?
“Baekhyun-ssi… Baekhyun-ssi…”
            Tak ada orang, tapi suara itu terus memanggilku. Terdengar seperti sumbernya berasal dari dalam apartment di hadapanku. Dengan keberanian yang tidak begitu cukup, aku mendekat, melangkahkan kaki pelan-pelan, memasuki apartment berpintu putih tulang.
“Baekhyun-ssi… Baekhyun-ssi…”
Semakin jelas terdengar. Pandanganku mengedar ke seluruh ruangan. Terlihat lebih jelas karena cahaya mentari menerobos kaca jendela yang dibiarkan tirainya terbuka. Apartment ini kelihatan berdebu, seperti sudah lama tak ditinggali. Ternyata Jongin benar, tapi…
“Baekhyun-ssi… Baekhyun-ssi…”
Kuhela napas berat. Rasa cemas mulai merasukiku. Suara itu seperti menggaung di seluruh penjuru ruangan. Dari mana itu aku tak tahu.
“Kau… dimana?”
Aku melangkah lebih jauh masuk ke dalam, menajamkan pendengaranku, mendeteksi sumber suara.
Sebuah ruangan dengan pintu terbuka, yang kuduga sebagai kamar, mengundang rasa penasaranku. Aku masuk, mengamati sekelilingku. Gaungan suara gadis misterius itu, tak lagi terdengar.
Tempat tidur yang berantakan dan terdapat noda-noda merah. Tirai jendela yang terlepas dari besi pengaitnya. Pecahan vas bunga porselin berceceran dilantai, bersama bercak-bercak cairan merah di pecahan-pecahannya. Apa yang sudah terjadi di sini?
Aku tidak mengerti kenapa Jongin lama sekali mengambil kunci? Atau dia sudah pergi meninggalkanku? Karena diriku sendiri merasa waktu tak berputar sejak kuinjakkan kaki di tempat ini. Gila!
Kuhela napas panjang dan dalam. Tercium aroma debu yang menyesakkan dada. Tapi tunggu, apa aku mencium aroma lain? Terselip di antara hawa pengap. Kuendus beberapa lokasi di dalam kamar ini. Dan aromanya, semakin kentara saat kudekati lemari kayu yang berada di sudut ruangan.
Kenapa baunya…? Anyir sekali! Sempat aku tersedak.
Entah mengapa. Berbagai spekulasi janggal bermain-main di kepalaku. Mungkin saja itu bau baju yang terlalu lama di simpan di lemari? Atau bau kayu tua? Atau bangkai tikus, atau cicak yang terjebak dalam lemari?
Astaga! Apa mungkin…?
Hembusan angin diluar menggedor gendang telingaku. Napasku jadi pendek-pendek dan genggaman tanganku bergetar. Dengan dorongan keyakinan, telapakku menyentuh gagang pintu lemari di depanku.
Saliva semakin terasa berat kutelan.
Dengan satu tarikan napas dalam, aku menggenggam gagang lemari itu. Lantas, tanpa rasa ragu, kutarik pintunya, hingga terbuka lebar.
Bruk!
Mataku membulat sempurna tatkala sejasad tubuh manusia tergeletak kaku di dekat kakiku. Suaraku tercekat. Langkahku mundur, sedikit menjauhi mayat itu.
Sejenak kutengok wajah jasad itu, yang tertutup rambut panjang. Aku meringis ngeri. Itu… gadis yang selalu kulihat. Gadis itu sudah mati!
Lututku lemas hingga aku duduk terkulai di lantai. Napasku sesak, oksigen terasa berbaur dengan aroma busuk nan amis yang semakin menyesakkan. Kulit jasad gadis itu sudah pucat, bahkan sedikit membiru. Kedua matanya membulat kesakitan, mulutnya terbuka sedikit, dan pakaian yang dikenakannya, sama sebagaimana aku selalu melihatnya.
Gadis itu. Gadis yang-kuanggap-tinggal di balik pintu putih tulang itu sudah mati! Maka yang selama ini kulihat, bukanlah manusia! Bukan!
“HYUNG??!!”
Sontak aku menoleh. Jongin berdiri di ambang pintu. Melihatiku dan mayat yang tergeletak dilantai dengan wajah terkejut setengah mati. Matanya membulat penuh. Tak ada satu huruf pun yang keluar dari mulutnya.
Rasanya aku ingin menangis. Menangis miris, menangis lega, menangis terkejut, menangis takut.
Aku memandang Jongin. Air wajahnya berubah. Ada rasa terluka di sana, di manik matanya.
“J-jong-in-ah…” Lirihku sekuatnya. Aku merasa cemas.
“Ini tidak mungkin! Tidak! Younghee, tidak mungkin!” Ujar Jongin seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kedua matanya terlihat basah. Ia duduk terkulai, lutut-lututnya menghantam lantai, tubuhnya bergetar. Buliran bening mengaliri kedua pipinya.
Tersirat berbagai perasaan dalam wajahnya.
Penyesalan.
Sakit.
Perih.
Cinta?
Bergantian aku menatap Jongin yang menangis sejadinya, serta jasad kaku di hadapanku.
Younghee? Apa Jongin kenal gadis itu? Kenapa ia bisa tahu namanya padahal sejak aku melihatnya, aku tak pernah bercerita setitik pun?
***
***
***
“Aku akan kembali ke London besok dan menetap disana. Apa kau tak mau melihatku untuk terakhir kalinya?”
Gadis itu melangkah santai menapaki trotoar jalan, melintasi sebuah gedung apartment. Ia tengah berbicara di telepon, sesekali ia perbaiki posisi tali tas slempang kain warna hitamnya di pundak. Senyum yang ia gulum menyiratkan penyesalan. Ia harus kembali pulang ke keluarganya, di London saat baru sebulan ia menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang dicintainya.
“Jangan bercanda!” Balas pemuda yang dicintanya dari seberang telepon.
Gadis itu berhenti sejenak, menoleh menghadap gedung apartment yang dilintasinya. Dalam diam ia pandangi gedung itu.Kekasihnya tinggal di sana.
“Kali ini aku tak bercanda. Mau menemuiku sekarang? Aku ada di depan apartmentmu.”
Semilir angin malam membelai tubunya. Membuat anak rambut panjangnya menari-nari. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menghangatkan diri karena sweater abu-abu gelap yang dikenakannya tak mampu meredakan rasa dingin.
“Hey, jangan bercanda. Aku tau kau sedang mengerjaiku!Kau bilang begitu, karena kau pikir aku akan lari keluar dengan panik, lalu tak menemukanmu di sana. Kau akan menertawaiku sampai perutmu keram, begitu?Kau kira aku tak hapal tabiatmu?”
Omelan kekasihnya itu membuat sebuah simpulan manis bertengger indah di wajah cantiknya.
“Kau tidak percaya padaku?” Balasnya menantang setelah berhasil menahan tawa.
“Bukan begitu. Sudahlah! Ini sudah malam, sebaiknya kau pergi tidur.”
“Tapi sayangnya, aku benar-benar ada di depan apartmentmu. Ayolah, ini terakhir kalinya aku melihatmu. Kau akan menyesal jika tidak keluar sekarang juga!” Ganti gadis itu yang mengomel.
“Ini sudah semakin gelap. Cepatlah keluar!” Gadis itu semakin tak sabaran tatkala kekasihnya lama bergeming.
Entah dari mana asalnya, sekelompok pria tiba-tiba berjalan menghampirinya. Menampakkan seringai sakartis yang membuat gadis itu menegang ketakutan.
“Jangan mendekat!” Ancam gadis itu, jelas terdengar lewat telepon hingga kekasihnya di seberang sana ikut menengang cemas.
Salah satu dari pria-pria tak dikenal itu menarik si gadis paksa. Membuat gadis itu berontak, bahkan sempat mengindar, tapi karena malam yang sangat larut, keributan itu tak mampu didengar orang-orang sekitar. Mungkin karena tengah terlelap. Sempat si gadis berlari menjauhi apartment kekasihnya, tapi tetap saja ia kembali tertangkap.
Pria-pria sialan itu tengah mabuk. Mereka terus mendesak si gadis. Kelakuan mereka seperti orang kesetanan, membungkam mulut gadis itu, berniat mengeroyokinya. Gadis itu menangis ketakutan, telepon genggam yang ada di tangannya terjatuh, namun teleponnya masih terhubung.
“Hey, kau masih di sana?! Kenapa ribut sekali?!” Kekasihnya yang tak tahu apa-apa itu, masih bersuara. Terdengar rasa khawatir dan bingung dalam kalimatnya.
“AAKH! JONGIN-AH! TOLONG AKU!!!”
BUK!
Satu pukulan keras dari sebatang kayu mendarat tepat di kepalanya. Membuat kedua bola mata indah gadis itu melotot kesakitan, serta merta cairan merah pekat mengucur deras, mengaliri leher hingga lengan dan tangannya. Pria-pria di sekelilingnya ikut terkejut.
“LEE YOUNGHEE!!?? YOUNGHEE-YAA?!!”
Bisingnya suara serangga malam menyisip diantara keheningan para pria keji itu, yang saling pandang kebingungan. Satu pria tersisa, yang lainnya lari ketakutan.
Tak ada pilihan, satu pria itu berinisiatif menyembunyikan jasad si gadis. Ia kenal gedung apartment-tempat kekasih si gadis tinggal- karena ia seorang penjaga keamanan disana. Maka, pria sialan itu membopong tubuh gadis yang ia lukai, membuka pintu salah satu apartment kosong-ia punya kuncinya- lalu membawanya masuk.
Gadis itu nyatanya masih bernapas. Saat menyadari hal itu, ide busuk pria sialan itu kembali terlintas. Sebelum perempuan cantik di bopongannya benar-benar menjadi seonggok mayat, ia membaringkan tubuh si gadis di atas tempat tidur.
Tak ada yang bisa dilakukan si gadis. Lebih dari setengah kesadarannya sudah lenyap karena cairan merah kentalamis yang terus mengalir, hingga mengotori tempat tidur. Dan pria brengsek itu menikmati tiap inchi wajah dan lehernya. Sempat tangan kanan pria itu yang berlumuran darah menyenggol sebuah vas bunga porselin hingga pecah berantakan. Jiwa gadis itu menangis. Menangis kesakitan, hanya dalam jiwanya.
Sampai akhirnya, seluruh syaraf di tubuh gadis itu mati dan benar-benar tak menghembuskan napas, si pria brengsek, dengan perasaan puas yang diliputi ketakutan memasukkan jasad gadis di depannya ke dalam sebuah lemari kayu yang kosong, lantas menutupnya rapat dan ia segera pergi keluar apartment. Meninggalkan peristiwa tragis itu di balik pintu.
Jiwa gadis itu masih di sana. Duduk melantai, memeluk kedua lututnya di depan pintu apartment-tempat ia disembunyikan. Pandangannya kosong, ke arah pintu sebuah apartment di hadapannya. Itu apartment kekasihnya.
Tok.Tok.Tok.
“Jongin-ah, aku datang! Buka pintunya, cepat!”
Seorang pemuda tengah mengetuk pintu apartment kekasih gadis itu. Si gadis mendongak, memandangi pemuda itu.
“Baekhyun hyung…”
Air matanya mengalir kala sosok yang dicintainya membuka pintu, menampakkan diri dengan wajah cemas.Gadis itu menyaksikan segalanya, namun yang ia lihat tak mampu melihat dirinya.
“Kenapa kau kelihatan aneh? Ada masalah apa sampai kau menyuruhku kemari selarut ini?”
Pemuda bernama Baekhyun itu melangkah masuk kedalam apartment, mengikuti kekasih si gadis. Namun, sebelum pintu ditutup, Baekhyun sempat berbalik, memandang ke arah lantai depan pintu apartment diseberangnya dengan bingung. Tempat jiwa si gadis terduduk.
Hanya perasaanku saja, atau memang ada orang disitu?Batin Baekhyun, lalu menutup pintu apartment kekasih si gadis dengan bingung. Jiwa si gadis bergumam,
Baekhyun… Ia melihatku…
***
***
*FIN*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar