1st fragment of R E D
R for REVENGE
-
Presented
by @andditaa
| Kim
Donghyun [Boyfriend] | Hyorin [SISTAR] |
| NC-19
| Crime | Suspense| Angst | AU | Vignette |
I own
the plots. Casts belong to their company.
Warning:
This is only fictional story. A lot of crime contents. Don’t try any harsh actions
at your home!
-
“Kau tahu mengapa ada pembalasan
dendam?”
-
-
—Bip
Kusadari jika wanita yang duduk di sebelah kananku memegang
erat-erat ujung lengan kemejaku, entah sengaja atau tidak. Sejenak aku menoleh
padanya dan melihat dalam naungan cahaya lampu agak temaram, buliran peluh
mengalir dari dahinya. Tatapannya multitafsir lurus ke arah layar televisi yang
baru saja kumatikan.
“Kau sakit?” Tentu aku cemas. Kutempelkan sebilah telapak tangan
di dahi kekasihku itu.
“Entahlah.
Mungkin—”
“Demam.” Potongku setelah aku tahu suhu tubuhnya agak abnormal.
Lantas aku bangkit dari sofa. “Biar kuantar kau pulang.”
Hyorin belum melepas cengkraman jemarinya. Ia mendongak,
memandangku dengan mata dikelilingi warna kehitaman, “sebentar lagi.”
“Baiklah.”
Aku baru ingin melangkah saat kurasa cengkraman Hyorin melemah.
Tapi ternyata ia masih belum rela. Ia menahanku. “Donghyun Oppa,”
Mengalah, dan aku kembali duduk di sebelahnya. “Hm?”
“Tadi, pria di berita itu, mantanku. Park Cheondung.”
Iris mata Hyorin mencari tahu dalam mataku, respon apa yang akan
kulontarkan atas ucapannya. Kuulas senyum, lantas mengusap gemas rambut coklat
karamelnya.
“Aku tahu itu, Hyo. Kau, ‘kan,
pernah cerita padaku.” Toh tak ada yang harus berseru wow karena baru saja mantan kekasihmu muncul di televisi.
Sudah setahun tiga bulan aku menjalin hubungan dengan Hyorin.
Bibikulah yang mengenalkannya saat wanita pujaanku itu baru datang kembali ke
Korea karena ikut orang tuanya pindah ke Kanada. Aku sadar semua ini rencana
perjodohan dan aku tak menolak. Sebab sosok Hyorin ternyata bisa meniupkan hawa
menyenangkan lantas menumbuhkan kekuatan magis yang mungkin sering orang sebut
sebagai cinta pada pandangan pertama.
Setiap pulang bekerja, atau saat aku ingin sekali makan mie ramen
buatannya, setelah kuhubungi Hyorin akan datang ke apartmentku. Pun sebaliknya,
ketika wanita berparas bundar itu butuh teman berbagi lelah, aku akan
menyambanginya. Tapi... ada yang mengganjal sejak dua minggu lebih kurasa.
“Oppa, kauingat apa yang
kuceritakan tentang pria itu, ‘kan?”
Hyorin setengah menundukkan kepala. Ia lipat kedua lututnya.
Kuhembus napas yang sedaritadi menambah akumulasi kecemasanku.
“Park Cheondung sebenarnya pria yang baik. Yah, meskipun tidak sebaik dirimu.” Imbuhnya.
Wanita di sisiku meletakkan dagu di atas lutut. Melempar pandang
ke arah jendela kaca besar di belakang televisi tanpa tirai, tertuju pada
hamparan langit hitam dengan ujung-ujung gedung pencakar langit
berkerlap-kerlip. Aku menyandarkan punggungku.
Kau tahu? Mungkin lebih dari tujuh belas kali Hyorin mengungkit
lagi dan lagi. Tentang si Park yang ternyata sudah mati itu. Maka aku hanya
bungkam.
“Kau lebih, lebih, dan lebih baik dari pria itu. Dari segala macam
segi.” Lanjut Hyorin. Kini ia angkat kepalanya, lantas menggunakan pundak
kananku untuk bertumpu.
Ada suhu yang lebih panas melewati serat kain kemejaku dan tembus
ke jaringan epidermis kulitku. Hyorin benar-benar demam.
“Kurasa ada ob—” Kali ini lengan Hyorin menahan lenganku. Ia
rangkul makin erat, makin sulit dilepas ketika aku coba berdiri.
Sekali lagi aku mendesah. Biarkan setitik rasa dongkol turut serta
bersama karbon dioksida yang baru saja menyembur keluar. Segalanya semakin
tampak aneh. Entah padaku atau pada diri Hyorin, terlihat lebih ganjil.
“Kau sangat perhatian, peduli, dan sayang padaku. Aku tidak salah,
bukan?”
“Paling tidak tidurlah.
Istirahat kalau tak mau minum obat. Kau demam, Hyo. Atau kau mau kuantarkan
pulang?” Tak niat aku merespon pertanyaannya barusan.
Kenapa secercah kegelapan muncul di lubukku? Aku mulai menolak
keberadaan dirinya di dekatku.
Benar!
Aku memang telah berubah.
“Bandingkan dengan Cheondung. Ia bahkan tega berkencan dengan wanita
lain di belakangku. Umbar janji palsu.” Nada-nada yang terlantun di tiap kata
dari mulut Hyorin berjejalan di telingaku. Memaksa masuk dan minta secepatnya
diolah otak.
“Seorang Kim Donghyun tidak mungkin seperti itu, iya, ‘kan?”
Gerakan peristaltik dibuat kerongkonganku dan aku sudah meneguk
saliva secara otomatis sesaat setelah Hyorin menyelesaikan kalimatnya.
“B–biar aku bereskan kamar. Kau akan menginap, ‘kan?” Jedaku sebelum rankaian kata-kata
tuduhan lain lolos dari mulutnya. Dan kali ini Hyorin membiarkanku berdiri dari
sofa.
“Tapi ternyata aku salah, ya, Oppa?
Sangat salah besar! Seorang Kim Donghyun ternyata sama.”
Otot kakiku menegang hingga aku tak sanggup bergerak dari tempatku
berdiri. Lebih banyak lagi saliva yang tertelan dan leherku rasanya mati rasa
hanya untuk menoleh kebelakang. Hendak melihat wajah kekasihku.
“Kau akan jadi General
Manager dan calon asistenmu pastilah cantik jelita.”
Oh, kini aku tahu mengapa kegelapan
itu sangat menyakitkan. Dan kuucapkan selamat untuk itu karena sukses mengotori
ketulusanku. Mematahkan kesetiaanku pada wanita pujaanku sendiri.
“Kenapa diam? Boleh kuanggap itu sebagai persetujuan atas semua
ucapanku?”
Kupejam mata kuat-kuat. Hyorin jelas tidak demam karena
penuturannya semua penuh dengan udara beku dan nada datar.
Satu helaan napas kupaksa masuk, “Hyorin,” aku berbalik badan.
Kudapati Hyorin sudah berdiri dengan pandangan lurus ke arahku dan terasa bumbu
kebencian dalam dua manik matanya.
“Percayalah. Aku dan wanita itu tidak seperti yang kaukira.”
Percobaan pertama.
“Tidak seperti yang kukira?” Hyorin mendengus kesal. “Aku bukan
wanita dungu, Kim Donghyun!”
Dahiku mulai terasa becek. “Yang kaulihat selama ini salah. Wanita
itu hanya rekan kerjaku. Itu saja!” Ini percobaan kedua. Ugh, masih terdengar standar untuk mengelak.
“Omong kosong!” Kedua iris hitam Hyorin beralih. Menghantarkan
praduga bersalah yang makin mengintimidasi situasiku.
“Ya, baiklah, baiklah. Aku sempat tertarik padanya. Tapi, hei, aku
kembali padamu, ‘kan?” Kupaksakan
segores senyum meski terasa kecut.
Oke, aku kehabisan kata-kata sebab air wajah Hyorin makin menyekap
daya logikaku. Tatapan sarkatis itu tak beranjak sesentipun.
“Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan kemarin malam, ha?”
Damn!
Kaki-kaki Hyorin mulai melangkah. Maju menghampiriku dan ruang
antara kami hanya sisa kurang dari setengah meter saja.
“Ada pesta kecil-kecilan di kantormu? Sekedar merayakan
keberhasilan General Managermu melamar
kekasih busuknya itu? Iya?”
Detak-detik jam dinding menjeda. Memacu kerja jantungku untuk
membuat suara yang serupa. Sekon itu juga, ada segaris senyum aneh. Tak
sekalipun pernah kulihat menghias, tergores di wajah kekasihku. Senyum timpang.
Sudut bibir kirinya lebih naik dibanding yang kanan.
Itu seringai! Aku tertangkap basah.
“Hyorin, kau benar. Aku salah. Aku memang pria bodoh. Maafkan aku.
Maaf. Tak akan kuulangi lagi.”
Setelah meminta maaf dengan tulus, bukankah kekasihmu bisa
kaudapatkan lagi? Setahuku begitu cara mengembalikan hubungan yang retak, bukan?
Ya Tuhan!
Seringai Hyorin hanyalah permulaan. Sebuah benda di genggamannya
yang baru saja dihunuskan padaku dari balik punggung adalah mimpi buruk atas
semua kejanggalan. Aku sadar jika Hyorin tahu semua. Semua kejahatanku! Dan aku
adalah sumber mimpi buruk itu!
Refleks kaki-kakiku mundur, hingga permukaan dinding apartment menahan
punggung tegangku.
“Hyo–Hyorin! Turunkan benda itu! Apa yang k—Akh!”
Benda dingin itu tertusuk di perutku dengan kecepatan yang tak
terduga. Kesakitan membawaku pada sudut kenyataan tragis. Bola mataku
membelalak, saraf-sarafku menegang. Mulutku menganga. Mengerang sekaligus
terkejut bukan kepalang.
Wanita di depan wajahku mendadak bisu. Tak bisa kutangkap kesan
apapun di air wajahnya. Sinar rembulan menerobos kaca jendela dan menciptakan
bayangan hitamnya semakin terang.
“Aakh!”
Tangan Hyorin yang terlumuri cairan sarat zat besi menarik kasar
benda bermata tajam itu dari perutku. Lutut-lututku menghantam lantai. Kedua
tanganku tak kalah berlumur darahku sendiri setelah kucoba menahan aliran
derasnya dengan susah payah. Sempat aku mendongak, memandangnya dengan kristal
air menghalang kornea mata.
Ia mendaratkan satu lagi tusukan. Yang ini hampir mengoyak
lambungku. Kulihat ia menggit bibir bawahnya untuk mengalihkan genangan air di
pelupuk mata. Aku tak berkutik sebab denyutan sakit dari tikaman sebelumnya
masih mendarah daging.
“M—ma—af…”
“Dunia tak terima pembual dan makhluk menjijikan sepertimu!”
Tarikan terakhir itu mengusir cahaya dari mataku dan kegelapan
mulai menyambutku. Diambang batas pelupuk yang melemah.
Hyorin tertawa getir. Memaksakan sepasang tulang pipinya naik ke
atas.
“Jika aku benci, kukatakan benci. Jika aku suka, kukatakan suka.
Sayangnya, aku setia pada prinsipku itu, Kim Donghyun!”
Sebelum daya pikirku mulai terjerumus lembah hitam tak berujung,
ada satu presepsi yang sempat menyembul diantara rasa cemasku. Kejanggalan yang
kurasakan mungkin tersangkut paut dengan mantan General Managerku—Park Cheondung.
“K—kau—Cheondung—?”
“Ah, dia? Aku benci
orang yang memanfaatkan kesempatan. General
Manager adalah jabatan yang diberikan kakekku. Jadi, dia berakhir kemarin
malam. Aku tak sengaja bertemu dengannya di kantormu. Apa kau lupa aku yang
menjemputmu dalam keadaan mabuk berat?”
Ia bukan Hyorin!
Bukan wanita cantik yang kukenal.
Aku yang membuatnya seperti itu!
Mengubahnya kembali ke masa lalu yang suram.
“Terimakasih sudah mengeluarkanku dari bayang-bayang Cheondung
brengsek itu, Kim Donghyun! Aku masih lebih tega dari dirimu kemarin malam,
bukan?”
Pandanganku mulai gulita. Aku rebah di atas tegel apartmentku yang
dingin, berbaur dengan genangan cairan merah. Sarafku mati rasa sampai
kesakitan mulai pudar dari jasadku perlahan namun pasti. Seringai pilu Hyorin
bak lembayung hitam senja di mataku.
Dunia mortalitas menyambutku.
Menggandeng tangan-tangan kotorku tanpa kesempatan bertemu mentari. Buku
hidupku ditutup Tuhan. Tanpa toleransi untuk menghapus tinta merah di halaman
terakhirnya. Halaman tentang Hyorin, kekasihku.
Kalimat terakhir yang kudengar dari Hyorin menggiringku menuju
keabadian.
“Kau tahu mengapa ada pembalasan dendam? Karena ada perpaduan rasa
sakit, kecewa, dan amarah yang tak bisa dimengerti oleh si pembuat kombinasi
itu.”
-
-
-
Think well! Before you hurt someone!
-Revenge-
Fin.
R of R E
D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar