16 Jan 2014

[RED Series] #1 REVENGE


1st fragment of R E D
R for REVENGE
-
Presented by @andditaa
| Kim Donghyun [Boyfriend] | Hyorin [SISTAR] |
| NC-19 | Crime | Suspense| Angst | AU | Vignette |
I own the plots. Casts belong to their company.
Warning: This is only fictional story. A lot of crime contents. Don’t try any harsh actions at your home!
-
“Kau tahu mengapa ada pembalasan dendam?”
-
-
"Pagi ini ditemukan sejasad mayat tergeletak di lantai basement perusahaan J Company. Mayat tersebut dikenali sebagai Park C yang baru sebulan menjabat sebagai General Manajer. Hingga malam, pihak berwenang belum berani membeberkan  okunum yang dianggap terkait kasus ini. Dugaan awal menyatakan bahwa Park C ditikam hingga tewas karena ada luka tusuk di per—"
Bip
Kusadari jika wanita yang duduk di sebelah kananku memegang erat-erat ujung lengan kemejaku, entah sengaja atau tidak. Sejenak aku menoleh padanya dan melihat dalam naungan cahaya lampu agak temaram, buliran peluh mengalir dari dahinya. Tatapannya multitafsir lurus ke arah layar televisi yang baru saja kumatikan.
“Kau sakit?” Tentu aku cemas. Kutempelkan sebilah telapak tangan di dahi kekasihku itu.
            “Entahlah. Mungkin—”
“Demam.” Potongku setelah aku tahu suhu tubuhnya agak abnormal. Lantas aku bangkit dari sofa. “Biar kuantar kau pulang.”
Hyorin belum melepas cengkraman jemarinya. Ia mendongak, memandangku dengan mata dikelilingi warna kehitaman, “sebentar lagi.”
“Baiklah.”
Aku baru ingin melangkah saat kurasa cengkraman Hyorin melemah. Tapi ternyata ia masih belum rela. Ia menahanku. “Donghyun Oppa,”
Mengalah, dan aku kembali duduk di sebelahnya. “Hm?”
“Tadi, pria di berita itu, mantanku. Park Cheondung.”
Iris mata Hyorin mencari tahu dalam mataku, respon apa yang akan kulontarkan atas ucapannya. Kuulas senyum, lantas mengusap gemas rambut coklat karamelnya.
“Aku tahu itu, Hyo. Kau, ‘kan, pernah cerita padaku.” Toh tak ada yang harus berseru wow karena baru saja mantan kekasihmu muncul di televisi.
Sudah setahun tiga bulan aku menjalin hubungan dengan Hyorin. Bibikulah yang mengenalkannya saat wanita pujaanku itu baru datang kembali ke Korea karena ikut orang tuanya pindah ke Kanada. Aku sadar semua ini rencana perjodohan dan aku tak menolak. Sebab sosok Hyorin ternyata bisa meniupkan hawa menyenangkan lantas menumbuhkan kekuatan magis yang mungkin sering orang sebut sebagai cinta pada pandangan pertama.
Setiap pulang bekerja, atau saat aku ingin sekali makan mie ramen buatannya, setelah kuhubungi Hyorin akan datang ke apartmentku. Pun sebaliknya, ketika wanita berparas bundar itu butuh teman berbagi lelah, aku akan menyambanginya. Tapi... ada yang mengganjal sejak dua minggu lebih kurasa.           
Oppa, kauingat apa yang kuceritakan tentang pria itu, ‘kan?” Hyorin setengah menundukkan kepala. Ia lipat kedua lututnya.
Kuhembus napas yang sedaritadi menambah akumulasi kecemasanku.
“Park Cheondung sebenarnya pria yang baik. Yah, meskipun tidak sebaik dirimu.” Imbuhnya.
Wanita di sisiku meletakkan dagu di atas lutut. Melempar pandang ke arah jendela kaca besar di belakang televisi tanpa tirai, tertuju pada hamparan langit hitam dengan ujung-ujung gedung pencakar langit berkerlap-kerlip. Aku menyandarkan punggungku.
Kau tahu? Mungkin lebih dari tujuh belas kali Hyorin mengungkit lagi dan lagi. Tentang si Park yang ternyata sudah mati itu. Maka aku hanya bungkam.
“Kau lebih, lebih, dan lebih baik dari pria itu. Dari segala macam segi.” Lanjut Hyorin. Kini ia angkat kepalanya, lantas menggunakan pundak kananku untuk bertumpu.
Ada suhu yang lebih panas melewati serat kain kemejaku dan tembus ke jaringan epidermis kulitku. Hyorin benar-benar demam.
“Kurasa ada ob—” Kali ini lengan Hyorin menahan lenganku. Ia rangkul makin erat, makin sulit dilepas ketika aku coba berdiri.
Sekali lagi aku mendesah. Biarkan setitik rasa dongkol turut serta bersama karbon dioksida yang baru saja menyembur keluar. Segalanya semakin tampak aneh. Entah padaku atau pada diri Hyorin, terlihat lebih ganjil.
“Kau sangat perhatian, peduli, dan sayang padaku. Aku tidak salah, bukan?”
 “Paling tidak tidurlah. Istirahat kalau tak mau minum obat. Kau demam, Hyo. Atau kau mau kuantarkan pulang?” Tak niat aku merespon pertanyaannya barusan.
Kenapa secercah kegelapan muncul di lubukku? Aku mulai menolak keberadaan dirinya di dekatku.
Benar!
Aku memang telah berubah.
“Bandingkan dengan Cheondung. Ia bahkan tega berkencan dengan wanita lain di belakangku. Umbar janji palsu.” Nada-nada yang terlantun di tiap kata dari mulut Hyorin berjejalan di telingaku. Memaksa masuk dan minta secepatnya diolah otak.
“Seorang Kim Donghyun tidak mungkin seperti itu, iya, ‘kan?”
Gerakan peristaltik dibuat kerongkonganku dan aku sudah meneguk saliva secara otomatis sesaat setelah Hyorin menyelesaikan kalimatnya.
“B–biar aku bereskan kamar. Kau akan menginap, ‘kan?” Jedaku sebelum rankaian kata-kata tuduhan lain lolos dari mulutnya. Dan kali ini Hyorin membiarkanku berdiri dari sofa.
“Tapi ternyata aku salah, ya, Oppa? Sangat salah besar! Seorang Kim Donghyun ternyata sama.”
Otot kakiku menegang hingga aku tak sanggup bergerak dari tempatku berdiri. Lebih banyak lagi saliva yang tertelan dan leherku rasanya mati rasa hanya untuk menoleh kebelakang. Hendak melihat wajah kekasihku.
“Kau akan jadi General Manager dan calon asistenmu pastilah cantik jelita.”
Oh, kini aku tahu mengapa kegelapan itu sangat menyakitkan. Dan kuucapkan selamat untuk itu karena sukses mengotori ketulusanku. Mematahkan kesetiaanku pada wanita pujaanku sendiri.
“Kenapa diam? Boleh kuanggap itu sebagai persetujuan atas semua ucapanku?”
Kupejam mata kuat-kuat. Hyorin jelas tidak demam karena penuturannya semua penuh dengan udara beku dan nada datar.
Satu helaan napas kupaksa masuk, “Hyorin,” aku berbalik badan. Kudapati Hyorin sudah berdiri dengan pandangan lurus ke arahku dan terasa bumbu kebencian dalam dua manik matanya.
“Percayalah. Aku dan wanita itu tidak seperti yang kaukira.” Percobaan pertama.
“Tidak seperti yang kukira?” Hyorin mendengus kesal. “Aku bukan wanita dungu, Kim Donghyun!”
Dahiku mulai terasa becek. “Yang kaulihat selama ini salah. Wanita itu hanya rekan kerjaku. Itu saja!” Ini percobaan kedua. Ugh, masih terdengar standar untuk mengelak.
“Omong kosong!” Kedua iris hitam Hyorin beralih. Menghantarkan praduga bersalah yang makin mengintimidasi situasiku.
“Ya, baiklah, baiklah. Aku sempat tertarik padanya. Tapi, hei, aku kembali padamu, ‘kan?” Kupaksakan segores senyum meski terasa kecut.
Oke, aku kehabisan kata-kata sebab air wajah Hyorin makin menyekap daya logikaku. Tatapan sarkatis itu tak beranjak sesentipun.
“Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan kemarin malam, ha?”
Damn!
Kaki-kaki Hyorin mulai melangkah. Maju menghampiriku dan ruang antara kami hanya sisa kurang dari setengah meter saja.
“Ada pesta kecil-kecilan di kantormu? Sekedar merayakan keberhasilan General Managermu melamar kekasih busuknya itu? Iya?”
Detak-detik jam dinding menjeda. Memacu kerja jantungku untuk membuat suara yang serupa. Sekon itu juga, ada segaris senyum aneh. Tak sekalipun pernah kulihat menghias, tergores di wajah kekasihku. Senyum timpang. Sudut bibir kirinya lebih naik dibanding yang kanan.
Itu seringai! Aku tertangkap basah.
“Hyorin, kau benar. Aku salah. Aku memang pria bodoh. Maafkan aku. Maaf. Tak akan kuulangi lagi.”
Setelah meminta maaf dengan tulus, bukankah kekasihmu bisa kaudapatkan lagi? Setahuku begitu cara mengembalikan hubungan yang retak, bukan?
Ya Tuhan!
Seringai Hyorin hanyalah permulaan. Sebuah benda di genggamannya yang baru saja dihunuskan padaku dari balik punggung adalah mimpi buruk atas semua kejanggalan. Aku sadar jika Hyorin tahu semua. Semua kejahatanku! Dan aku adalah sumber mimpi buruk itu!
Refleks kaki-kakiku mundur, hingga permukaan dinding apartment menahan punggung tegangku.
“Hyo–Hyorin! Turunkan benda itu! Apa yang k—Akh!”
Benda dingin itu tertusuk di perutku dengan kecepatan yang tak terduga. Kesakitan membawaku pada sudut kenyataan tragis. Bola mataku membelalak, saraf-sarafku menegang. Mulutku menganga. Mengerang sekaligus terkejut bukan kepalang.
Wanita di depan wajahku mendadak bisu. Tak bisa kutangkap kesan apapun di air wajahnya. Sinar rembulan menerobos kaca jendela dan menciptakan bayangan hitamnya semakin terang.
Aakh!”
Tangan Hyorin yang terlumuri cairan sarat zat besi menarik kasar benda bermata tajam itu dari perutku. Lutut-lututku menghantam lantai. Kedua tanganku tak kalah berlumur darahku sendiri setelah kucoba menahan aliran derasnya dengan susah payah. Sempat aku mendongak, memandangnya dengan kristal air menghalang kornea mata.
Ia mendaratkan satu lagi tusukan. Yang ini hampir mengoyak lambungku. Kulihat ia menggit bibir bawahnya untuk mengalihkan genangan air di pelupuk mata. Aku tak berkutik sebab denyutan sakit dari tikaman sebelumnya masih mendarah daging.
“M—ma—af…”
“Dunia tak terima pembual dan makhluk menjijikan sepertimu!”
Tarikan terakhir itu mengusir cahaya dari mataku dan kegelapan mulai menyambutku. Diambang batas pelupuk yang melemah.
Hyorin tertawa getir. Memaksakan sepasang tulang pipinya naik ke atas.
“Jika aku benci, kukatakan benci. Jika aku suka, kukatakan suka. Sayangnya, aku setia pada prinsipku itu, Kim Donghyun!”
Sebelum daya pikirku mulai terjerumus lembah hitam tak berujung, ada satu presepsi yang sempat menyembul diantara rasa cemasku. Kejanggalan yang kurasakan mungkin tersangkut paut dengan mantan General Managerku—Park Cheondung.
“K—kau—Cheondung—?”
Ah, dia? Aku benci orang yang memanfaatkan kesempatan. General Manager adalah jabatan yang diberikan kakekku. Jadi, dia berakhir kemarin malam. Aku tak sengaja bertemu dengannya di kantormu. Apa kau lupa aku yang menjemputmu dalam keadaan mabuk berat?”
Ia bukan Hyorin!
Bukan wanita cantik yang kukenal.
Aku yang membuatnya seperti itu!
Mengubahnya kembali ke masa lalu yang suram. 
“Terimakasih sudah mengeluarkanku dari bayang-bayang Cheondung brengsek itu, Kim Donghyun! Aku masih lebih tega dari dirimu kemarin malam, bukan?”
Pandanganku mulai gulita. Aku rebah di atas tegel apartmentku yang dingin, berbaur dengan genangan cairan merah. Sarafku mati rasa sampai kesakitan mulai pudar dari jasadku perlahan namun pasti. Seringai pilu Hyorin bak lembayung hitam senja di mataku.
Dunia mortalitas menyambutku. Menggandeng tangan-tangan kotorku tanpa kesempatan bertemu mentari. Buku hidupku ditutup Tuhan. Tanpa toleransi untuk menghapus tinta merah di halaman terakhirnya. Halaman tentang Hyorin, kekasihku.
Kalimat terakhir yang kudengar dari Hyorin menggiringku menuju keabadian.
“Kau tahu mengapa ada pembalasan dendam? Karena ada perpaduan rasa sakit, kecewa, dan amarah yang tak bisa dimengerti oleh si pembuat kombinasi itu.”
-
-
-
Think well! Before you hurt someone!
-Revenge-
Fin.

R of R E D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar