27 Nov 2012

[Fanfiction] Real of Fiction


Title: Real of Fiction

Scripwriter + cover : @andditaa

Main Casts: 
Kim Hana (OC)
Lee Gikwang 'BEAST'

Minor casts: find by your self

Genre:
Sad, Romance, Fantasy

Disclaimer:
Plot dan OC murni milik author. Lee Gikwang milik emak-bapaknye sama CUBE.
Please! take this out with full of credits =)

____________________________________________________________________________________

Aku membuka mata, mengakhiri tidurku yang nyenyak sekali semalam. Aku bangkit dan memandang pagi ini dari balik jendela. Langitnya begitu cerah, matahari tampak ramah menyapa dunia. Suasana yang sangat tepat untuk pergi mengayuh sepeda ke taman kota. Udara begitu terasa hangat. Ah, sayang sekali kalau melewatkan suasana seperti ini. Aku mengambil telepon genggamku dan menghubungi salah satu sahabatku.

            “Hey, Yoseob! Apa kau sudah bangun?” sapaku ketika Yoseob mengangkat panggilanku.

            “Hem, aku sudah bangun. Ada apa kau meneleponku pagi – pagi?”

            “Haha, tidak. Aku hanya ingin mengajakmu bersepeda.”

            “Baik. Kita bertemu ditaman biasa…”

            “Baiklah.” Aku mengakhiri telepon dengan senang.

            Segera aku bersiap dan pergi mengambil sepedaku.

***
            “Wow, ternyata taman ramai juga hari ini…”

            Aku mengangguk mengiyakan ucapan sahabatku itu. Kami bersepeda sepanjang jalanan di taman. Menikmati pemandangan yang jarang sekali kutemui karena terlalu sibuk.

            “Hey, Gikwang, mau balapan? Aku yakin kau tidak akan bisa mengalahkanku.” Ucap Yoseob, menantangku.

            “Oh, baik! Akan ku kalahkan kau. Ayo, tentukan garis finish-nya!” ucapku tak kalah meyakinkan.

            “Baik. Garis finish-nya sampai ke kedai roti itu ya…”

            Setelah Yoseob mengakhiri kalimatnya, Aku langsung mengayuh sepeda ku sekuat tenaga. Tak mau kalah, Yoseob juga mengayuh sepedanya secepat yang ia bisa. Aku sempat memimpin balapan itu, kemudian Yoseob menyalip ku.

            “Sudah ku bilang, kau akan kalah…” ucapan Yoseob membuatku semakin mempercepat kayuhanku. Tak lama berselang, aku sudah berada di posisi terdepan.

            Aku menengok kebelakang, “Haha, sudah ku bilang kau yang akan kalah…”

            Brraaakk!  Tanpa kusadari, aku bertabrakan dengan seseorang yang sedang mengendarai sepeda juga. Aku terjatuh, begitu juga pengendara sepeda itu.

***

            Kini dua sepeda itu saling bertubrukkan dan kedua pengendaranya terjatuh.

            “Aduuh, kakiku…” ringis Gikwang memegangi lututnya yang terasa nyeri.

            “Oh, maaf… Aku tidak melihat jalan tadi, aku minta maaf…” ucap seorang gadis yang bertabrakkan dengan Gikwang itu.

            Gadis itu menghampiri Gikwang, “Biar aku bantu berdiri…” ucap gadis itu sambil memegangi lengan Gikwang untuk membantunya berdiri.

            “Oh, iya, tidak apa – apa…” Ucap Gikwang masing setengah meringis kesakitan.

            “Biar aku obati lukamu…”

            “Oh, tidak usah. Aku tidak apa – apa… sungguh…” Gikwang mengelak.

            “Sudah, jangan mengelak. Lihat itu! Lututmu berdarah…”

            Gikwang menunduk, dan mendapati tetesan darah mengalir dari lututnya.

            Gadis itu menuntun Gikwang menuju bangku yang kebetulan ada di dekat mereka.

            “Jangan kemana – mana! Aku segera kembali…” ucap gadis itu lalu pergi meninggalkan Gikwang yang masih meringis kesakitan.

            Tak lama kemudian, gadis tadi menghampiri Gikwang sambil membawa beberapa perban dan obat luka. Gadis itu duduk berjongkok di depan lutut Gikwang dan membersihkan darah yang sudah hampir mongering itu. Gikwang hanya diam. Sesekali ia meringis karena menahan rasa perih.

            “Aku tidak mungkin mau diperlakukan seperti ini oleh seorang gadis kalau lukaku tidak parah…”

            Gadis itu hanya tersenyum menanggapi ucapan Gikwang, “Sudahlah… Jangan cerewet. Aku sudah baik mau bertanggung jawab, walaupun yang menabrak tadi sebenarnya bukan aku…”

            Gikwang terdiam. Menyadari kesalahannya, ia tersenyum malu, “Ah, kau benar. Maafkan aku…”

            “Nah, sudah selesai… Tidak sakit lagi kan?” Tanya gadis itu seperti seorang dokter anak kepada pasiennya.

            “Ya, sudah tidak terasa… Terima kasih perbannya…” Gikwang menunduk dan tersenyum ramah.

            Gadis itu mengangguk dan juga tersenyum.

            “Oh, sebaiknya aku pergi dulu…”

            Belum sempat gadis itu melangkah, Gikwang sudah menghadangnya.

            “Tunggu dulu! Boleh aku tau namamu? Setidaknya dengan tau namamu aku bisa membalas budi…”

            “Kau lupa padaku? Aku pikir sejak tadi kau sudah mengenalku…”

            Gikwang tampak bingung, “Benarkah? Dimana kita pernah bertemu?”

            “Haha. Gikwang, sudah sesibuk itukah kau sampai bisa melupakanku?”

            Gikwang menatap gadis itu, ‘Apa iya? Aku merasa tidak pernah bertemu…’

            “Aku Hana, Gikwang. Apa kau lupa? Kim Hana! Teman sekelasmu ketika SMA!”

            ‘Kim Hana? Teman SMA?’ Gikwang tampak bingung. “Apa kau gadis yang selalu memakai pita merah muda itu? Oh, atau kau gadis yang selalu memakai jaket abu – abu?” tanya Gikwang mencoba mengingat teman – temannya ketika SMA.

            Hana menggeleng. “Coba kau ingat – ingat semua anak perempuan di kelas. Tidak mungkin kau lupa denganku…”

            “Eh, aku pergi duluan ya… Sampai bertemu lagi, Gikwang…” Hana pergi menjauh meninggalkan Gikwang yang masih berkutat dengan pikirannya.

            “Oh, astaga… Seremeh itukah daya ingatku…?” gumam Gikwang sedikit kesal.

***

            Aku pulang sambil menuntun sepedaku. Ah, untung saja gadis tadi baik sekali. Setidaknya dia tidak melantarkanku dengan lutut yang terluka. Aku meraba perban yang ia pasang tadi. Tapi tunggu, kemana Yoseob? Bukankah tadi saat balapan dia masih ada? Pergi kemana anak itu?

            Aku merogoh kantong mancari keberadaan telepon genggamku. Setelah dapat, aku langsung menghubungi Yoseob.

            Tuut…Tuut… panggilan pertama tidak ada jawaban. Tidak mau menyerah, aku mencoba lagi.

            Tuut…Tuut… Hanya nada itu saja yang bisa kudengar. Tetap tidak ada jawaban dari Yoseob. Aku sedikit kesal. Akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya nanti.

***

            Gikwang mengambil sekaleng minuman soda lalu menikmatinya di balkon kamar. Ia mencoba mengingat siapa gadis yang ditemuinya tadi pagi sembari menikmati angin sepoi.

            “Kim Hana… Ehm, apa aku pernah sekelas dengan gadis berambut panjang seperti dia? Tidak! Aku rasa tidak…” Dahi Gikwang berkerut, mencoba mengingat – ingat kembali masa lalu.

            Tiba – tiba, angin kencang bertiup. Brak! Suara daun jendela yang tertutup itu membuat Gikwang terperanjat dan bangkit dari kursi. Ia masuk ke dalam kamar dan mendapati beberapa figura foto di atas meja terjatuh.

            “Wah, untung saja tidak pecah…” Gikwang memunguti figura – figura foto itu. Tak sengaja, ia melihat sebuah boneka beruang kecil berwarna cokelat di kolong meja.

            Gikwang mengambil boneka itu, “Boneka siapa ini? Lucu sekali.”

            Sejenak, Gikwang menimang – nimang benda itu. Kemudian ia letakkan di atas meja, “Wah, ini masih tampak bagus…”

***

            Keesokkan harinya, Gikwang memutuskan untuk pergi menemui Yoseob. Ia berniat menanyakan tentang gadis yang ia temui kemarin. Bagaimanapun, Yeosob adalah sahabatnya sejak SMA.

            Gikwang berjalan menuju rumah Yoseob. Ia sudah berulang kali berusaha menelepon Yoseob semalam, tapi tetap tak ada jawaban. Tak ada pilihan lain selain mendatanginya langsung.

            “Hey, Gikwang…”

            Otomatis, Gikwang berhenti dan mendapati Hana yang sedang berdiri tepat di depan sebuah cafe.

            “Oh, Hana. Sedang apa kau disini?” Tanya Gikwang menghampiri Hana.

            “Aku sedang bekerja di cafe ini. Kau sendiri, mau kemana?”

            “Aku dalam perjalanan ke rumah sahabatku…” Jawab Gikwang santai.

            “Oh, begitu. Eh, mau mampir ke café sebentar? Ada makanan enak, lho…”

            “Wah, terimakasih. Aku rasa, aku buru – buru. Lain kali saja ya…” Elak Gikwang.

            “Ah, sudahlah. Ayo masuk! Kali ini, aku yang traktir…”

            Saat mulai masuk, Gikwang terkejut dan langsung menarik Hana kedalam pelukannya, berusaha melindungi Hana. Praaangg…! Sedetik kemudian, suara pecahan bola lampu mengagetkan para pengunjung café. Bola lampu yang cukup besar itu jatuh ke lantai dan serpihannya berhamburan dimana – mana.

            Hana tampak terkejut. Bisa ia dengar nafas Gikwang yang sedikit memburu. Ketika sadar, refleks Hana melepaskan pelukan Gikwang.

            “Em… Kau, tidak apa – apa?” tanya Gikwang setengah terbata. Suasana kini menjadi sedikit canggung.

            “Oh, aku baik – baik saja. Huft, yang tadi itu hampir saja…” ucap Hana sambil tersenyum lega.

            “Syukurlah…” Gikwang juga tersenyum.

***

            Aku memilih duduk di dekat jendela agar suasana petang yang cerah ini bisa jelas terlihat sembari menikmati secangkir cokelat hangat buatan café ini.

            Hana menghampiriku dan duduk dikursi tepat dihadapanku. “Em, untuk yang tadi, terima kasih ya. Entah apa yang terjadi kalau kau tidak menyelamatkanku…”

            “Anggap saja sebagai balas budi…”Sahutku.

            “Baik. Oh, tunggu sebentar! Akan ku ambilkan beberapa potong kue…” ucapnya kemudian berlalu begitu saja.

            Aku memandang kendaraan – kendaraan yang lalu lalang di jalanan sembari merenung. Ada satu hal yang menurutku sedikit janggal. Saat aku memeluk Hana tadi, aku bisa merasakan dengan jelas aroma bunga melati. Sangat wangi. Bahkan aku berpikir itu bukan aroma minyak wangi. Aromanya seperti bunga asli. Tapi, apa Hana memakai minyak wangi aroma melati? Aneh sekali, mengingat seorang wanita seperti Hana memakai wewangian seperti itu.

            “Nah, ini kuenya…” Hana datang dengan membawa dua potong kue disebuah piring kecil. “Ini dari atasan ku karena kau mau membantu membersihkan serpihan bola lampu tadi…”

            “Wah, terimakasih. Tampaknya lezat…”

            “Tentu saja. Ayo dimakan!”

            Aku mengangguk dan langsung mengambil sebuah sendok, lalu menikmati kuenya.

            Hana tersenyum melihatku karena senang memakan kuenya.

***

            “Kau lucu sekali, Gikwang…” Gumamku sambil memperhatikan Gikwang menyantap kue yang ku berikan.

            “Hah? Kau bilang apa?”

            “Oh, tidak. Aku tidak bilang apa – apa…” Sahutku sekenanya.

“Jangan berbicara dengan mulut penuh makanan seperti itu…” Lanjutku mengingat Gikwang tadi bertanya dengan mulut yang masih penuh. Kalau aku tidak bisa mengendalikan emosi, sudah ku cubit pipinya.

“Apa atasan mu tidak marah?” tanya Gikwang setelah selesai menghabiskan semua kue.

“Tidak. Memangnya kenapa?”

Gikwang tampak heran, “Tidak. Aku hanya ingin bertanya…”

Aku hanya ber-oh ria menanggapi jawaban Gikwang.

Tiba – tiba saja, Gikwang menepuk jidatnya, “Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan Yoseob. Hana, aku pergi dulu ya…”

Refleks, aku ikut bangkit dari kursi. Hampir bersamaan dengan Gikwang. “Aku ikut…”

***

            Gikwang dan Hana berjalan beriringan menuju rumah Yoseob.

            Baguslah kalau dia memang mau ikut. Setidaknya, aku bisa sekalian menunjukkannya pada Yoseob… Batin Gikwang.

            “Apa rumah Yoseob masih jauh?” tanya Hana yang sudah tampak sedikit lelah.

            “Tidak. Sebentar lagi sampai…”

            Tak lama berselang, Gikwang berhenti tepat di depan sebuah rumah.

            “Ini rumah Yoseob?” tanya Hana.

            Gikwang mengangguk, lalu beralih mendekati pintu.

            Tiing-toong… Tak ada sahutan dan pintu masih tertutup.

            Tiing-toong… Untuk yang kedua kalinya, tetap tidak ada tanda – tanda seseorang membuka pintu.

            “Hm, apa Yoseob tidak ada di rumah?” tanya Hana.

            “Entahlah. Sejak kemarin dia memang tidak bisa dihubungi…” Jawab Gikwang sembari berusaha mengintip dari jendela.

            “Rumah ini tampak gelap. Sepertinya tidak ada orang…” sahut Hana ikut mengintip juga.

            “Pergi kemana anak ini? Kenapa tidak memberi kabar?” Sungut Gikwang sambil berkacak pinggang.

            “Mungkin dia buru – buru, jadi tidak sempat memberitahumu…” ucap Hana menenangkan Gikwang.

            “Yasudah. Ayo, ku antar kau pulang…” ucap Gikwang dan segera menarik tangan Hana. Kali ini ia kesal.

***

            Aku dan Hana duduk di salah satu halte bis. Menunggu dan menunggu. Tapi, sejak tadi tak ada bis yang lewat.

            “Eh, kau pulang saja duluan… Ini sudah hampir jam sebelas malam…” Ucap Hana dengan nada sedikit horor.

            “Kau ingin menunggu sendirian di tempat ini? Apa tidak takut?” tanya ku, mencoba meyakinkan Hana.

            “Tidak juga…”

            “Tidak juga? Berarti iya, kau takut…”

            Tiba – tiba, suasana disekelilingku terasa dingin. Angin semilir bertiup dan menggoyangkan dedaunan. Aku beralih memandang Hana. Ia hanya diam dan menatap lurus kedepan. Tak memperdulikan angin yang menerpa rambutnya.

            “Dingin?” tanya Hana tiba – tiba. Matanya tetap memandang lurus kedepan.

            Aku sedikit terkejut, lalu mengangguk menanggapi pertanyaan Hana.

            “Kau sudah ingat siapa aku?” Hana bertanya lagi. Kini matanya beralih memandangku.

            “Belum. Aku masih belum ingat siapa kau. Maaf…”

            “Yasudah. Aku maafkan. Tapi, berusahalah untuk ingat. Aku akan sangat senang kalau kau bisa ingat denganku lagi…”

            Kali ini bisa kulihat jelas wajah Hana memohon dan berharap.

            Tak lama kemudian, sebuah bis berhenti tepat di depan halte. Aku dan Hana segera masuk. Bis melaju cukup kencang. Ini karena jalanan memang sudah sepi. Hanya aku dan Hana yang menjadi penumpang bis ini.

            Aku menatap jam tangan. Sudah hampir pukul 23.30.

            “Han-na…?” Aku baru saja ingin bertanya pada Hana. Tapi kulihat, ia sudah terlelap dan menyenderkan kepalanya dikaca jendela bis.

            Perlahan, aku memindahkan posisi kepala Hana. Setidaknya dia bisa bersender pada bahuku. Seketika itu, aku terdiam. Aroma melati itu kini kembali menyeruak bersamaan dengan udara dingin yang tiba – tiba berhembus. Entah kenapa, aku merasa suasana berubah menjadi sedikit horor.

***

            Pagi menjelang. Berkas cahaya matahari menebus celah – celah jendela bis yang dinaiki Gikwang dan Hana semalam. Gikwang membuka matanya, berusaha mengumpulkan kembali nyawanya yang setengah melayang semalam.

            Gikwang bangkit dari kursi, lalu mengedarkan pandangannya. Astaga, semalaman aku tertidur di bis ini… Batin Gikwang. Kemudian, ia pergi keluar bis.

            “Oh, kau sudah bangun?” tanya seseorang tiba – tiba. Ternyata ia supir bis itu. Ia tampak sebaya dengan Gikwang.

            “Ah, iya. Maaf, sudah merepotkanmu.” Ucap Gikwang sembari menunduk.

            “Haha, tidak apa. Oiya, ini…” Supir bis itu memberikan sebuah boneka beruang kecil berwarna cokelat. Gikwang hanya terdiam. Boneka yang diberikan padanya itu serupa sekali dengan yang ia punya.

            “Lho? Dari mana kau dapatkan benda ini?” tanya Gikwang.

            “Semalam, aku menemukannya tergeletak di lantai bis. Tepat di sebelah bangku yang kau duduki. Jadi, aku pikir itu milikmu…” jelas si supir.

            Disebelahku? Aku bahkan tidak membawa boneka ini. Batin Gikwang.

            “Lalu, apa kau melihat seorang gadis yang duduk disebelahku?” tanya Gikwang penuh selidik.

            “Seorang gadis? Hm, entahlah. Aku tidak begitu memperhatikan… Mungkin dia sudah turun duluan ketika bis berhenti.”

            “Hm, baiklah kalau begitu. Aku permisi dulu…” pamit Gikwang.

            Kemudian, Gikwang berlari secepatnya menuju rumah. Ada sesuatu yang harus segera ia pastikan.

            Setibanya di rumah, Gikwang segera berlari menuju kamarnya. Tak peduli dengan nafasnya yang tak beraturan.

“Tidak ada! Boneka beruang itu tidak ada di sini…” ucap Gikwang ketika mendapati mejanya hanya dihiasi oleh beberapa foto berfigura.

“Aneh…” gumam Gikwang, kemudian meletakkan kembali boneka beruang yang ada ditangannya ke atas meja.

Drrrt… Telepon genggam Gikwang bergetar. Ada sebuah pesan yang masuk.

Gikwang, kau sudah di rumah?

Hana



Gikwang tersenyum, lalu membalas pesan yang ternyata dari Hana.

Aku baru saja sampai J

Bagaimana dengan mu? Kenapa tidak memberitahuku dulu sebelum pergi?



            Tak lama kemudian, sebuah pesan kembali masuk.

Haha, maafkan aku. Kau tertidur nyenyak sekali. Jadi aku tidak enak membangunkanmu ^^’

Aku sedang dalam perjalanan menuju rumahmu. Segeralam mandi! ;)



            Gikwang terkejut dan langsung bergegas ke kamar mandi.

***

            “Wah, kau masih memajang foto ini…” Kagum Hana, sembari menatap foto kelulusan SMA Gikwang yang terpajang rapi di dinding ruang tamu.

            “Tentu saja. Aku tidak ingin melupakan masa kelulusan SMA itu…” ucap Gikwang seraya meletakkan dua gelas minuman diatas meja.

            “Hm, apa kau punya foto kelulusan seluruh kelas kita? Seingatku kau menyimpannya…” tanya Hana.

            Gikwang mengingat sejenak, “Entahlah…”

            Kemudian, Gikwang mengambil foto kelulusannya itu dari dinding. Gikwang membalik figuranya.

            “Kau menyimpannya di balik fotomu?” tanya Hana, berusaha memastikan.

            “Aku, tidak begitu yakin… Tapi, aku rasa ada disini…”

            Gikwang menarik keluar foto kelulusannya perlahan. Dan benar saja, ternyata dibelakang foto itu ada selembar foto lagi. Ia mengambil foto itu dari figura.

            “Wah, kenapa aku jadi sedikit grogi?” ungkap Hana.

            “Tenang. Sebentar lagi aku akan ingat siapa kau…” ucap Gikwang sambil tersenyum senang.

            Gikwang memandangi foto itu dan memperhatikan semua wajah teman – temannya. Hana hanya duduk disofa, menunggu reaksi Gikwang ketika sudah mengingatnya.

            “Apa kau gadis ini?” tanya Gikwang sembari menunjuk salah satu gadis dalam foto itu yang berambut panjang.

            “Haha. Itu bukan aku, Gikwang.”

            “Apa dulu kau berambut panjang?” tanya Gikwang.

            “Hm, coba tebak lagi…” Hana membiarkan Gikwang berkutat kembali dengan foto itu.

            “Oh, sudah waktunya aku bekerja… Sebaiknya aku permisi dulu. Sampai nanti, Gikwang…”

            “Eh, Hana. Tunggu! Hey, aku belum tau siapa kau… Hey!” Gikwang terlambat. Hana sudah berlalu pergi keluar rumah.

            Gikwang kembali masuk ke dalam rumah. Ia belum bisa menebak siapa Hana.

“Tunggu, buku itu… Dimana buku itu?” Gikwang bergegas mencari buku itu di lemari kamar. Membongkar sebuah laci dimana ia menyimpan benda – benda semasa SMA.

“Ketemu! Buku ini…”

Gikwang beralih menuju mejanya, membuka satu per satu halaman buku itu.

Buku berwarna biru muda dengan sebuah pita disampulnya. Buku harian itu memang bukan milik Gikwang. Saat hari kelulusan SMA, Gikwang menemukan buku itu di dalam tasnya.

-Flashback

            Hari ini Gikwang datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Tentu saja karena hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Ia benar – benar tak sabar.

            Gikwang duduk di bangkunya. Kelas masih sangat sepi. Hanya beberapa tas saja yang tampak di tinggal keluar begitu saja oleh pemiliknya.

            “Hey, Gikwang. Ayo keluar…”

            Gikwang segera meletakkan tasnya dan bergegas keluar mengikuti ajakan sahabatnya, Yoseob.

            Tak lama kemudian, setelah Gikwang sudah pergi cukup jauh, seseorang mendekati bangku Gikwang. Ia mengendap sambil membawa sebuah buku. Ia meraih tas Gikwang dan memasukkan buku itu, kemudian mengembalikan tas Gikwang ke posisi semula. Setelah itu, ia bergegas pergi.

            Setengah jam kemudian, Gikwang kembali ke kelas untuk mengambil tasnya.

            “Cepat ambil tasmu! Aku tidak ingin mereka meninggalkan kita…”

            “Tunggu! Ada sesuatu di dalam tasku…”

            Gikwang mengambil dan menunjukkan sebuah buku berwarna biru muda kepada Yoseob.

            “Itu buku harianmu? Astaga, lucu sekali…”

            “Bukan. Aku tidak punya benda seperti ini…”

            Gikwang membuka buku itu, memperhatikan isinya. Ia tampak terkejut. Di dalam foto itu banyak tertulis ungkapan – ungkapan tentang dirinya dan juga beberapa foto dirinya. Ia beralih ke halaman paling belakang. Tapi, tak ia temukan nama pemiliknya.

            “Ah, sudahlah. Lain kali saja kau melihatnya! Kita sudah hampir terlambat. Ayo!” Yoseob menarik Gikwang keluar kelas.



-Flashback  selesai

Seandainya aku punya keberanian, akan ku pastikan aku mengatakannya padamu…

Tapi, mulutku terkunci rapat, bahkan ketika hanya memandangmu…

Dan sungguh, aku sudah terlambat…

Terima kasih kau sudah menghiasi hari – hari ku selama di sekolah ini…

Aku senang sekaligus sedih jika mengingatmu… Lee Gikwang…

Mungkin aku tidak akan menjadi orang pertama dalam hatimu, tapi ku pastikan kau akan tetap jadi yang pertama dan terakhir bagiku…



            Gikwang menutup buku itu, mengakhirinya dengan membaca sebuah pesan yang dituliskan pemilik buku di halaman paling akhir. Ia tetap tak menemukan petunjuk apapun tentang Hana. Apalagi pemilik buku itu.

            “Ya Tuhan, seharusnya hari ini aku pergi ke makam nenek…” Gikwang menepuk jidatnya sendiri, merutuki dirinya yang sudah mulai pelupa.

***

            Gikwang menaburkan bunga di atas makam nenek. Berdoa sejenak, lalu mengelus pelan nisannya.

            “Gikwang kangen nenek… Aku akan lebih sering mengunjungi nenek. Selamat tinggal, nek. Gikwang pergi dulu…” bisiknya sembari melambaikan tangan kearah pusara itu. Ia  memang benar – benar merindukan neneknya.

            Gikwang berbalik dan terdiam sejenak. Perhatiannya tertuju pada sebuah nisan. Ia menghampiri seseorang tampaknya sedang mengunjungi pusara dari nisan itu.

            “Em, permisi…” ucap Gikwang pelan. Terdengar jelas, seorang ibu yang ada di dekat pusara itu menangis.

            Ibu itu mendongak dan memandang Gikwang dalam – dalam.

            Gikwang membaca tulisan di nisan itu, “A-apa yang terbaring disini bernama Kim Hana?” tanyanya sedikit ragu.

            Ibu tadi bangkit, “Gikwang? Kau Lee Gikwang? Apa kau Lee Gikwang?”

            Gikwang terkejut, “Da-dari mana nyonya tau namaku?”

            “Oh, astaga, Gikwang… Kau tidak berubah. Kau masih saja seperti dulu, ketika SMA…”

            Gikwang tertegun sejenak. “A-apa nyonya kenal dengan ku?” tanya Gikwang ragu.

            Nyonya itu mendekat ke arah Gikwang. Gikwang mundur selangkah. Lalu tiba – tiba saja, kedua tangan nyonya itu memegang kedua pipi Gikwang, matanya juga tampak berkaca – kaca.

            “Kau… Apa kau mencintai Hana? Kim Hana?”

            Ribuan tusuk anak panah serasa menancap didada Gikwang. Seketika itu nafasnya tertahan.

            “Aku kenal kau, nak. Sangat mengenalmu. Hana adalah anakku…”

            I-ibu Hana? Kim Hana? Batin Gikwang.

            “Ini. Kau ingat ini?” Ibu Hana menunjukkan sebuah foto. Seorang gadis berambut keriting sebahu dan memakai kacamata tebal itu tampak tersenyum.

            Mata Gikwang membulat, bahkan mulutnya refleks terbuka. “I-ini… Hana… Kim Hana?”

            Kini ingatan itu kembali walaupun samar - samar. Kim Hana. Gadis yang bahkan tak pernah sedikitpun Gikwang dengar suaranya. Gikwang hanya tau, ada gadis super culun bernama Kim Hana di  kelasnya.

           

Flashback-

            “Lee Gikwang… Lee Gikwang…” Teriakan gadis berambut keriting sebahu dan berkacamata itu teredam oleh teriakkan – teriakkan siswi lain yang setia menunggu kedatangan Gikwang di gerbang sekolah.

            “Ah, seperti ini lagi… Menyebalkan sekali…” dengus Yoseob kesal. Sebagai sahabat seorang idola sekolah, ia merasa jenuh dengan kelakuan para penggemar.

            Gikwang hanya tersenyum, mencoba ramah pada siswi – siswi itu. Bukannya tenang, mereka justru semakin menjadi. Gikwang dan Yoseob memaksa menerobos kerumunan yang mulai tak terkendali. Terlihat mereka saling dorong dan tarik.

            “Aaa… Lee Gik…” Gadis berambut keriting itu terjatuh karena terdorong oleh siswi yang lain. Jatuh tepat di hadapan Gikwang.

            “Oh, kau baik – baik saja?” Gikwang mendekati gadis itu.

            Gadis itu hanya mengangguk sambil terus menunduk. Ia tau, apabila ia menatap Gikwang, bisa mati di tempat seketika.

            “Ayo! Cepat pergi dari sini! Mereka mulai menggila…” Segera Yoseob menarik Gikwang untuk bangkit dan kabur bersama. Menjauh sejauh – jauhnya dari kerumunan siswi – siswi histeris itu.

            Gadis tadi akhirnya mendongakkan kepalanya. Menatap perginya Gikwang dengan sedikit menyesal. “Seharusnya, tadi itu kesempatan!” rutuknya sembari membenarkan kacamatanya yang miring.

***

            Aku duduk di dekat sebuah tas yang diabaikan pemiliknya begitu saja di atas rerumputan. Pemiliknya adalah seorang pemuda yang sejak awal aku sukai. Tapi, terlalu sulit untuk mendekatinya. Berbicara dengannya saja jarang. Bahkan aku selalu terdiam ketika berhadapan dengannya, walaupun aku dan dia sekelas selama dua tahun terakhir ini.

            Sebuah boneka beruang kecil berwarna coklat. Sudah sejak lama aku membuat sendiri boneka ini dan berencana memberikannya pada Gikwang tepat pada hari kelulusan. Dan inilah saatnya. Seharusnya aku bisa memberikannya langsung pada Gikwang, apalagi tadi pagi Gikwang sempat mendekatiku ketika terjatuh. Tapi entah mengapa, mulutku selalu tertutup rapat.

            Gikwang, aku harap kau suka… Tolong jaga boneka ini… Anggap saja dia adalah diriku… Aku menatap sejenak boneka ini, lalu memasukkan diam – diam kedalam tas Gikwang. Tak terhitung sudah berapa banyak benda yang ku berikan pada Gikwang dengan cara diam – diam seperti ini. Tapi, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain ini. Maafkan aku, Gikwang.

            “Eh, apa ini?”

            Aku mengambil secarik kertas, tepat di bawah tas Gikwang. Membacanya dengan seksama…

Kepada pemilik asli buku berwarna biru…

Aku cukup senang kau memberikannya padaku, dan terimakasih…

Tapi ada satu hal yang harus ku ketahui… Sebenarnya, siapa kau?

Berhentilah menjadi secret admirer –ku! Aku lebih suka kalau kau menunjukkan dirimu…

Pergi dan temui aku setelah acara pengumuman kelulusan di seberang sekolah…

Lee Gikwang…

            Aku tertegun, tak menyangka Gikwang akan melakukan hal seperti ini. Kalau sudah begini, apa yang harus kulakukan?!

***

            Aku dan Yoseob berniat menghampiri tas yang ku tinggalkan begitu saja di taman. Anehnya, ada seorang gadis yang sedang berjalan bolak – balik di dekat tasku. Sepertinya ia tampak bingung.

            “Apa ada sesuatu yang…?” Gadis itu tampak terkejut ketika aku dekati. Refleks kedua mata di balik kacamata itu membulat.

            “Oh… Em…” Gadis itu hanya bergumam tak jelas. Sekarang wajahnya sudah merona. Ah, lucu sekali.

            “Apa ada barang yang terjatuh?” tanyaku lagi.

            Gadis itu hanya menggeleng cepat. Kemudian ia menunduk sejenak, lalu pergi menjauh. Aku ingat, dia gadis yang terjatuh di depan gerbang tadi pagi.

            Aku mendekati tasku. Ternyata, kertas kecil yang sengaja ku letakkan di bawah tas tadi sudah tidak ada. Apa gadis itu yang mengambilnya? Apa benar dia secret admirer ku selama ini?

            “Kau kenal gadis itu?” tanyaku pada Yoseob.

            “Oh, gadis yang berkacamata itu? Dia Kim Hana. Apa kau tidak mengenalnya? Dia bahkan sekelas dengan kita.”

            “Eh, benarkah? Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya?”

            “Hm, dia memang pendiam di kelas. Maklumlah, gadis kutu buku…” Aku mengangguk menanggapi jawaban Yoseob.

Entah kenapa aku menyadari ada yang aneh dalam diriku. Perasaan yang aku sendiri tak tau apa itu dan belum pernah aku rasakan. Bahkan aku bisa merasakan dengan jelas ketika berhadapan dengan gadis itu, dan benar – benar terasa ketika tadi aku melihat dan mendengarnya bergumam. Aku meraba dada sebelah kiriku, jantungku berdebar lebih cepat. Apa aku punya perasaan pada gadis itu? Menyukainya ketika pertama kali bertemu?



***

            Setelah acara pengumuman kelulusan selesai.



“Eh, Gikwang, mau kemana? Tunggu aku! Hey, Gikwang!” Gikwang mengabaikan panggilan Yoseob, ia tetap terus berjalan dan semakin cepat.

            Yoseob terpaksa mengikuti kemana perginya Gikwang, hingga akhirnya Gikwang berhenti di dekat sebuah pohon, tepat diseberang sekolah.

            “Untuk apa kita kesini?” tanya Yoseob sembari berusaha mengatur nafas. Ia lega karena akhirnya Gikwang berhenti.

            Gikwang hanya diam. Sesekali ia melihat kekanan dan kekiri.

            “Mencari siapa?” tanya Yoseob dengan nada kesal.

            “Gadis berkacamata dan berambut keriting. Yang tadi bertemu dengan kita…” Gikwang tetap tak beralih menatap sekelilingnya.

            “Aku merasa dia gadis yang memberiku buku biru itu…” terang Gikwang.

***

            Aku berdiri tepat di depan gerbang sekolah. Bisa ku lihat jelas Gikwang dan sahabatnya itu berdiri disana. Dilema kini menjalar keseluruh tubuhku. Keringat dingin mengalir di dahiku. Apa yang harus ku perbuat? Mengakui semuanya? Atau membiarkan Gikwang penasaran dan memendam perasaan ini sampai pada waktunya? Aku menarik nafas dalam – dalam lalu menghembuskannya sekeras yang aku bisa. Kuputuskan untuk menemui Gikwang dan siap menerima segala resiko yang mungkin terjadi. Tapi aku belum berpikir untuk mengakui perasaanku padanya.

            Kulangkahkan kaki ku menuju posisi Gikwang. Aku merasa lututku bergetar hebat. Bisa kulihat dengan jelas Gikwang mengalihkan pandangannya kearahku. Aduh, kenapa aku jadi tak tenang?

***

            “Gadis itu…” Aku menatap jelas Kim Hana berjalan dan segera menyebrang. Aku merasakan jantungku kini berdebar lagi. Refleks, aku memegang dada kiriku.

            “Kau kenapa? Berdebar?” tanya Yoseob sambil tersenyum dengan nada jahil.

            “Tidak…”

            “Apa kau menyukai gadis itu?” tanya Yoseob lagi. Bahakan kini wajahnya mendekat kewajahku. Masih dengan nada jahil.

            Aku terdiam. “Apa menurutmu begitu?” tanyaku kemudian.

            “Hm, jadi kau menyukai Kim Hana? Wah, beruntung sekali dia jadi yang pertama…”

            “Apa gadis itu benar – benar menuju kesini?” gumamku berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mau menjawab pertanyaan Yoseob yang terakhir tadi.

            “Aku rasa begitu… Dia sepertinya ingin menyebrang jalan…”



            Yoseob benar. Aku lihat ia sedang berdiri di pinggir jalan, melihat kekiri dan kekanan. Jadi dia benar – benar secret admirerku? Untuk kesekian kalinya, aku merasa jantungku berdebar lagi.

            “Wah, wajahmu seperti tomat saja. Apa kau grogi bertemu Hana, hah?”

            Aku terkejut dan refleks meraba wajahku. “Apa semerah itu?”

            Yoseob mengangguk. Apa iya aku menyukai gadis itu? Tapi, gadis itu tidak punya hal istimewa. Bahkan ia tidak cantik dan terlihat sangat culun. Apa memang benar cinta itu buta? Apa ini yang namanya cinta pertama?



            Hana mulai menyeberangi jalan. Terlihat jelas ia terus menunduk dan tampak tidak tenang. Senada dengan Hana, aku juga tidak tenang.

            “Kau yakin dia secret admirermu selama ini?” tanya Yoseob.

            “Entahlah… Tapi aku rasa…”  Aku terdiam dan terkejut ketika melihat sebuah mobil tampak melaju begitu cepat.

            “Hana! Berhenti!” Aku berusaha berteriak sekeras mungkin agar Hana bisa mendengar.

Hana memang berhenti seketika, tapi ia berdiri tepat di tengah jalan. Ia melihat ke sebelah kanannya dan justru membeku. Karena panik, aku segera berlari menuju Hana. Mobil itu semakin mendekat. Aku berusaha mendorong Hana. Tapi…

Ciiittt… Braaakk!

***

            Ciiittt… Braaakk!  Suara itu membuat darahku berdesir lebih cepat. Aku terjatuh tepat di atas trotoar kemudian berusaha berdiri sekuat tenaga. Tak peduli walaupun tubuhku terasa nyeri.

            “Gikwaaang…” Aku mendengar Yoseob berteriak.

            Gi-Gikwang… Aku segera berlari menghampiri Gikwang, begitu pula dengan Yoseob.

            Aku menatap Gikwang dan merasa air mataku mulai mengalir.

            “Gikwang, kau harus kuat! Aku akan segera membawamu ke rumah sakit. Jadi bersabarlah sebentar…” Yoseob mengangkat kepala Gikwang yang terus mengalirkan darah segar. Terlihat jelas wajah Yoseob tampak sangat cemas, bahkan tangisannya hampir pecah.

            “Gi-Gikwang… Ma-maafkan aku…” Aku terisak menatap Gikwang yang berusaha tersenyum menatapku. Bodoh, aku memang bodoh! Ia tidak akan begini, kalau bukan karena kebodohanku.

            Semua orang mengelilingi aku, Yoseob, dan Gikwang. Terdengar jelas tangisan siswi – siswi penggemar Gikwang, dan itu membuatku semakin sedih.

            Se-secret a-admirer…” Gikwang berucap dengan terbata – bata. Terlihat jelas ia  masih berusaha tersenyum menatapku.

            “Te-terima… Kasih… Kim Hana…”

            Aku tertegun dengan ucapannya barusan. Kini air mataku benar – benar tak mampu kubendung.

***

            “Te-terima… Kasih… Kim Hana…”

            Aku berusaha tersenyum sekuat tenaga dihadapannya. Bisa ku lihat dengan jelas bulir – bulir air mata dari balik kaca matanya. Ku mohon Hana, jangan menangis! Aku justru merasa senang melihatmu selamat.

            Tiba – tiba aku merasa pandanganku kabur. Kepalaku terasa sakit sekali.

            “Gikwang bertahanlah! Sebentar lagi ambulan akan datang… Bertahanlah, Gikwang!”

            Akhirnya aku melihat Yoseob menangis. Tidak biasanya Yoseob seperti ini. Ia adalah orang yang paling humoris yang pernah ku kenal.

            “Hana, apa kau menyukaiku?” Aku kembali menatap Hana.

            “Tidak, Gikwang. Aku tidak menyukaimu…”

            Aku terdiam sejenak. “Ja-di…?”

            “Aku tidak menyukaimu karena aku mencintaimu, Lee Gikwang… Aku memang bodoh, mencintai orang yang tidak mungkin mencintaiku…”

            Rasanya aku ingin tertawa mendengar pengakuannya. Ia begitu jujur dan benar – benar polos. Jarang sekali aku melihat gadis seperti dia.

            “Baguslah kalau begitu. Aku senang, karena kau juga sudah membuat sesuatu yang aneh disini…” Aku meraih tangannya dan meletakkannya diatas dada bagian kiri, dimana jantungku terasa berdebar.

            "Apa ini sama dengan yang kau rasakan selama ini?"

            Hana tertegun, “Ja-jadi kau…?”

            Untuk kesekian kalinya pandanganku terasa kabur. Gelap, semua mulai tak terlihat. Aku bahkan tak bisa mendengar dengan jelas pertanyaan Hana. Kepalaku juga terasa begitu sakit. Nyeri sekali. Seperti tertusuk ribuan jarum.

            Terakhir yang bisa ku dengar adalah suara sirine ambulan yang datang mendekat.

***

            Seminggu sudah berlalu sejak insiden Gikwang tertabrak mobil. Selama seminggu ini, Gikwang dirawat secara intensif di rumah sakit dan belum sadarkan diri. Ia mengalami pendarahan begitu hebat dikepalanya.

            “Gi-gikwang? Kau sudah sadar?” tanya Yoseob ketika melihat Gikwang mulai mengerjapkan mata. Selama seminggu ini pula, Yoseob setia menunggu Gikwang.

            Gikwang mengangkat kepalanya dan bersender pada dinding.

            “Yoseob? Sudah berapa lama aku di sini?” tanya Gikwang sambil mengucek kedua matanya.

            “Ah, Lee Gikwang… Syukurlah… Kau sudah disini selama lima abad, dan aku hampir menjadi kakek – kakek tua karena itu…” Yoseob mengacak – acak rambut Gikwang.

            “Ya ampun, separah itukah kecelakaanku waktu itu?”

            “Kalau tidak parah, kau tidak mungkin tidur selama seminggu…” seorang gadis tiba – tiba masuk kedalam kamar rawat Gikwang sambil tersenyum. “Buah – buahan ini bagus untuk memulihkan tenagamu…”

            “Wah, terimakasih, Hana. Aku rasa Gikwang akan menyukainya…” Yoseob melirik Gikwang.

            “Kenapa kau menatapku seperti itu?”

 Yoseob menyikut Gikwang.

            Gikwang beralih menatap Hana, “Siapa gadis itu?”

            “Ah, dia Hana, Gikwang. Bagaimana bisa kau lupa?” sahut Yoseob.

            “Hana?” gumam Gikwang.

            Hana menatap Gikwang dengan cemas. Perasaannya mulai kacau.

            “Jangan bercanda, Gikwang! Kau tidak lupa ingatan, kan?” tanya Yoseob dengan nada cemas.

            “Lupa ingatan? Bagaimana bisa aku lupa ingatan kalau aku mengingatmu, Yoseob.”

            Hana hanya diam, mencoba menelaah lebih dalam apa yang baru saja dikatakan Gikwang.

Flashback selesai-



            “Kau tidak apa – apa?” Ibu Hana menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Gikwang.

            Refleks, Gikwang kembali dari alam bawah sadarnya.

            “Jadi, Hana… Sudah berapa lama ia pergi..?” nada suara Gikwang menurun. Matanya tampak sedikit berkaca – kaca.

            “Sejak tiga tahun yang lalu, ketika ia pulang dari membesukmu…” jawab Ibu Hana.

            “Sudah selama itu? Bagaimana ia bisa…”

            “Tertabrak. Persis seperti kau tertabrak waktu itu…” Ibu Hana menjawab pertanyaan Gikwang, seakan tau apa yang akan ditanyakan Gikwang.

            Setetes air mata jatuh dipipi Gikwang. Ia berlutut di sisi makan Hana, mengelus nisan sambil terisak.

            “Maafkan aku, Hana… Maafkan aku… Aku memang tidak tau diri… Maafkan aku…”

            Ibu Hana ikut berlutut dan merangkul bahu Gikwang, “Sudahlah, nak… Aku rasa Hana sudah tenang di alam sana...”

            Gikwang menatap Ibu Hana, “Tidak, nyonya… Hana mendatangiku sejak tiga hari yang lalu… Ia tampak berbeda, tapi jelas dari matanya ia Kim Hana…”

            “Be-benarkah?” Mata Ibu Hana kini mulai berkaca – kaca. “Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia baik – baik saja…?”

            “Ia baik – baik saja… Ia tidak seperti semasa SMA, ia berambut panjang dan tidak berkaca mata…”

***

            Air dimata Ibu Hana tak bisa dibendung lagi. Kini ia menangis.

            Drrt… Drrt… Aku segera merogoh kantong mencari telepon genggamku.



Temui aku sekarang di pinggir danau dekat pemakaman…

Hana



            Segera setelah mendapat pesan singkat dari Hana, aku berlari keluar menuju pemakaman. Maaf nyonya, aku pergi dulu menemui anakmu… Aku berlari sekuat tenaga menuju danau yang kebetulan memang dekat dengan pemakaman.

Sesampainya di sekitar danau, aku mengedarkan pandangan keselilingku. Mencari sosok Hana yang entah sedang menunggu dimana.

“Gikwang…”

Aku berbalik dan menangkap sesosok gadis memakai dress berwarna putih. Apa itu Hana?

Aku menghampirinya perlahan.

“Takut?” tanyanya ketika aku hanya berjarak lima meter dari tempat ia berdiri.

Aku tak menjawab pertanyaannya. Masih berusaha mengatur nafasku.

“Jangan mentapku dengan tatapan penyesalan seperti itu…” ujar Hana.

“Kim Hana… Gadis berambut keriting sebahu dan berkacamata… Kau senang aku mengingatmu?” Aku menatap Hana dalam – dalam. Air mataku serasa ingin tumpah.

            “Tentu. Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya kau bisa mengingatku lagi… Terimakasih…”

            Aku berlari dan memeluk Hana. Seketika itu, aku bisa mencium aroma melati. Persisi seperti dua hari terakhir ini.

            “Maafkan aku, Hana… Maafkan aku…”

            Hana hanya diam. Entah kenapa, aku tidak bisa merasakan detak jantungnya, bahkan dalam jarak sedekat ini. Tubuhnya pun terasa begitu dingin. Ini semua benar! Kim Hana memang sudah pergi tiga tahun lalu.

            “Sudah, tak apa… Aku mengerti keadaanmu waktu itu…”

            Aku mempererat pelukanku. Aku tau, ini yang terakhir bagiku.

            “Aku dengar orang amnesia itu akan melupakan hal – hal yang paling ia ingat. Dan aku senang, karena aku termasuk orang yang dulu paling kau ingat…”

            Aku melepaskan pelukanku dan masih tertunduk.

            “Berhentilah menangis! Lee Gikwang yang ku kenal, tidak secengeng ini…” Hana mengangkat wajahku. Ia mengusapkan jemarinya di bawah mataku, berusaha menghapus air mata yang mengalir dipipiku. Wajah Hana pucat, itu yang bisa tertangkap jelas dimataku.

            “Seperti dulu, aku ingin kau merasakan hal yang sama seperti apa yang kau rasakan…” Aku meraih tangan Hana, dan meletakkannya di dada sebelah kiriku.

            “Kau akan tetap ada disini selamanya…”

            “Ya, aku akan tetap disini selamanya… Aku senang kau mengingatku tepat pada waktunya… Aku harus pergi…” Hana mundur beberapa langkah. Entah kenapa, aku seperti membeku di tempat. Hatiku ingin sekali mencegah Hana pergi, tapi kaki ku tiba – tiba kaku.

            Hana semakin menjauh, “Selamat tinggal Gikwang… Tolong jaga buku biru itu dan boneka beruang yang aku berikan padamu…” Ketika Hana menitihkan air mata, wujudnya lenyap, bagaikan potongan – potongan kecil kertas putih yang terbang diterpa angin.

            “Ha-Hanaa…” Aku jatuh bersimpuh dan hanya mampu memanggil Hana agar ia kembali.

***

            “Hey, Gikwang! Ayo bangun!”

            Gikwang mengerjapkan matanya.

            “Bangun! Kau pikir ini sudah jam berapa, hah?”

            Bentakkan Yoseob sukses membangunkan Gikwang.

            “Oh, dimana ini? Kamar? Lho, Yoseob? Kau disini? Yoseob…” Tiba – tiba Gikwang memeluk Yoseob.

            “Eh, apa – apaan ini? Lepaskan aku!” Gikwang langsung melepaskan pelukannya.

            “Kemana saja kau, Yoseob? Kenapa tidak memberi kabar, hah?” tanya Gikwang.

            “Kemana saja? Memangnya kau pikir aku kemana?”

            “Saat bersepeda di taman, kau menghilang begitu saja dan tidak bisa dihubungi…”

            “Bersepeda? Hey, bahkan sejak tadi pagi kau belum bangun. Kapan kita bersepeda di taman?”

            Gikwang terdiam memahami perkataan Yoseob.

            “Jadi sejak tadi pagi, aku masih tertidur?”

            “Tentu. Aku kesini karena ingin memastikan keadaanmu. Dan benar saja, kau teridur sampai hari kembali malam… Mengerikan sekali…”

            “Aku tertidur seharian penuh?”

            “Iya. Apa kau bermimpi buruk, hah? Sejak tadi aku memperhatikan ekspresi wajahmu berubah – ubah. Awalnya tersenyum, lalu tampak kesal, kemudian berubah lagi menjadi serius dan penasaran. Pada akhirnya kau menangis hingga menitihkan air mata…” jelas Yoseob panjang lebar.

“Jadi itu semua mimpi… Eh, Yoseob, apa kau kenal Hana? Kim Hana?”

“Kim Hana? Em, aku pernah dengar namanya? Apa dia gadis culun berambut keriting?”

            “Ceritakan dimana dan kapan kau melihatnya!”

            “Dia teman sekelas kita ketika SMA… Tapi aku tidak yakin dimana dia sekarang…”

            Seketika itu Gikwang turun dari tempat tidur dan berlari mencari buku berwarna biru muda dilemari.

            “Ada… Benda ini benar – benar ada…” Gikwang beralih menuju kolong meja. Lagi, ia menemukan sebuah boneka beruang kecil berwarna coklat.

            “Sejak kapan kau punya benda – benda seperti itu?” tanya Yoseob tidak percaya.

            “Sejak semalam, ketika aku bertemu Kim Hana…”

           

***

            Seorang gadis berambut panjang tersentak dan langsung bangun dari tidurnya. Napasnya terengah, jantungnya berdegup kencang, layaknya orang yang sedang lari mengelilingi lapangan. Keringat dingin bercucuran dari dahi mulusnya, mata indahnya masih terlihat kemerahan. Berusaha ia atur napasnya seraya memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa nyeri.

“A-aku…?!” serunya terbata dengan nada bertanya-tanya.

Ia lalu menatap jam yang tertata rapi disebelah foto kelulusan SMA-nya. Ia masih tak menyangka dan mengambil foto dirinya yang masih culun dengan rambut keriting sebahu. Tertera nama Kim Hana di foto itu.

            Kemudian, ia beralih ke buku biru yang semalam ia letakkan di sebelah bantalnya.

            “Lho? Bukunya? Dimana bukunya?” Ia tampak panik mencari buku berwarna biru muda itu. Buku yang selama ini ia simpan rapat – rapat dan sangat rahasia itu kini menghilang. Baginya, buku itu penuh dengan memori berharga mengenai seseorang.

            “Boneka? Bonekanya kemana?” Ia bangkit dari tempat tidur. Mencari keseluruh penjuru kamar. Boneka beruang kecil berwarna coklat itu juga menghilang, bersamaan dengan buku biru muda.

            “Hah?! Apa ini karena semalam…? Tidak, itu hanya mimpi. Tidak mungkin!” Gadis itu hanya geleng – geleng kepala, mengingat semalam ia bermimpi memberikan benda itu pada Lee Gikwang, idola sekaligus cinta pertamanya semasa SMA.
~TAMAT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar