Title: Real of Fiction
Scripwriter + cover : @andditaa
Main Casts:
Kim Hana (OC)
Lee Gikwang 'BEAST'
Minor casts: find by your self
Genre:
Sad, Romance, Fantasy
Disclaimer:
Plot dan OC murni milik author. Lee Gikwang milik emak-bapaknye sama CUBE.
Please! take this out with full of credits =)
____________________________________________________________________________________
Aku
membuka mata, mengakhiri tidurku yang nyenyak sekali semalam. Aku bangkit dan memandang
pagi ini dari balik jendela. Langitnya begitu cerah, matahari tampak ramah
menyapa dunia. Suasana yang sangat tepat untuk pergi mengayuh sepeda ke taman
kota. Udara begitu terasa hangat. Ah, sayang sekali kalau melewatkan suasana
seperti ini. Aku mengambil telepon genggamku dan menghubungi salah satu
sahabatku.
“Hey, Yoseob! Apa kau sudah bangun?”
sapaku ketika Yoseob mengangkat panggilanku.
“Hem, aku sudah bangun. Ada apa kau
meneleponku pagi – pagi?”
“Haha, tidak. Aku hanya ingin
mengajakmu bersepeda.”
“Baik. Kita bertemu ditaman biasa…”
“Baiklah.” Aku mengakhiri telepon
dengan senang.
Segera aku bersiap dan pergi
mengambil sepedaku.
***
Aku mengangguk mengiyakan ucapan
sahabatku itu. Kami bersepeda sepanjang jalanan di taman. Menikmati pemandangan
yang jarang sekali kutemui karena terlalu sibuk.
“Hey, Gikwang, mau balapan? Aku
yakin kau tidak akan bisa mengalahkanku.” Ucap Yoseob, menantangku.
“Oh, baik! Akan ku kalahkan kau.
Ayo, tentukan garis finish-nya!” ucapku tak kalah meyakinkan.
“Baik. Garis finish-nya sampai ke
kedai roti itu ya…”
Setelah Yoseob mengakhiri
kalimatnya, Aku langsung mengayuh sepeda ku sekuat tenaga. Tak mau kalah, Yoseob
juga mengayuh sepedanya secepat yang ia bisa. Aku sempat memimpin balapan itu,
kemudian Yoseob menyalip ku.
“Sudah ku bilang, kau akan kalah…”
ucapan Yoseob membuatku semakin mempercepat kayuhanku. Tak lama berselang, aku
sudah berada di posisi terdepan.
Aku menengok kebelakang, “Haha,
sudah ku bilang kau yang akan kalah…”
Brraaakk! Tanpa kusadari, aku bertabrakan dengan
seseorang yang sedang mengendarai sepeda juga. Aku terjatuh, begitu juga
pengendara sepeda itu.
***
Kini dua sepeda itu saling
bertubrukkan dan kedua pengendaranya terjatuh.
“Aduuh, kakiku…” ringis Gikwang
memegangi lututnya yang terasa nyeri.
“Oh, maaf… Aku tidak melihat jalan
tadi, aku minta maaf…” ucap seorang gadis yang bertabrakkan dengan Gikwang itu.
Gadis itu menghampiri Gikwang, “Biar
aku bantu berdiri…” ucap gadis itu sambil memegangi lengan Gikwang untuk
membantunya berdiri.
“Oh, iya, tidak apa – apa…” Ucap
Gikwang masing setengah meringis kesakitan.
“Biar aku obati lukamu…”
“Oh, tidak usah. Aku tidak apa –
apa… sungguh…” Gikwang mengelak.
“Sudah, jangan mengelak. Lihat itu!
Lututmu berdarah…”
Gikwang menunduk, dan mendapati tetesan
darah mengalir dari lututnya.
Gadis itu menuntun Gikwang menuju
bangku yang kebetulan ada di dekat mereka.
“Jangan kemana – mana! Aku segera
kembali…” ucap gadis itu lalu pergi meninggalkan Gikwang yang masih meringis
kesakitan.
Tak lama kemudian, gadis tadi
menghampiri Gikwang sambil membawa beberapa perban dan obat luka. Gadis itu
duduk berjongkok di depan lutut Gikwang dan membersihkan darah yang sudah
hampir mongering itu. Gikwang hanya diam. Sesekali ia meringis karena menahan
rasa perih.
“Aku tidak mungkin mau diperlakukan
seperti ini oleh seorang gadis kalau lukaku tidak parah…”
Gadis itu hanya tersenyum menanggapi
ucapan Gikwang, “Sudahlah… Jangan cerewet. Aku sudah baik mau bertanggung
jawab, walaupun yang menabrak tadi sebenarnya bukan aku…”
Gikwang terdiam. Menyadari
kesalahannya, ia tersenyum malu, “Ah, kau benar. Maafkan aku…”
“Nah, sudah selesai… Tidak sakit
lagi kan?” Tanya gadis itu seperti seorang dokter anak kepada pasiennya.
“Ya, sudah tidak terasa… Terima
kasih perbannya…” Gikwang menunduk dan tersenyum ramah.
Gadis itu mengangguk dan juga
tersenyum.
“Oh, sebaiknya aku pergi dulu…”
Belum sempat gadis itu melangkah,
Gikwang sudah menghadangnya.
“Tunggu dulu! Boleh aku tau namamu?
Setidaknya dengan tau namamu aku bisa membalas budi…”
“Kau lupa padaku? Aku pikir sejak
tadi kau sudah mengenalku…”
Gikwang tampak bingung, “Benarkah?
Dimana kita pernah bertemu?”
“Haha. Gikwang, sudah sesibuk itukah
kau sampai bisa melupakanku?”
Gikwang menatap gadis itu, ‘Apa
iya? Aku merasa tidak pernah bertemu…’
“Aku Hana, Gikwang. Apa kau lupa?
Kim Hana! Teman sekelasmu ketika SMA!”
‘Kim Hana? Teman SMA?’ Gikwang
tampak bingung. “Apa kau gadis yang selalu memakai pita merah muda itu? Oh,
atau kau gadis yang selalu memakai jaket abu – abu?” tanya Gikwang mencoba
mengingat teman – temannya ketika SMA.
Hana menggeleng. “Coba kau ingat –
ingat semua anak perempuan di kelas. Tidak mungkin kau lupa denganku…”
“Eh, aku pergi duluan ya… Sampai
bertemu lagi, Gikwang…” Hana pergi menjauh meninggalkan Gikwang yang masih
berkutat dengan pikirannya.
“Oh, astaga… Seremeh itukah daya
ingatku…?” gumam Gikwang sedikit kesal.
***
Aku pulang sambil menuntun sepedaku.
Ah, untung saja gadis tadi baik sekali. Setidaknya dia tidak melantarkanku
dengan lutut yang terluka. Aku meraba perban yang ia pasang tadi. Tapi tunggu,
kemana Yoseob? Bukankah tadi saat balapan dia masih ada? Pergi kemana anak itu?
Aku merogoh kantong mancari
keberadaan telepon genggamku. Setelah dapat, aku langsung menghubungi Yoseob.
Tuut…Tuut… panggilan pertama
tidak ada jawaban. Tidak mau menyerah, aku mencoba lagi.
Tuut…Tuut… Hanya nada itu
saja yang bisa kudengar. Tetap tidak ada jawaban dari Yoseob. Aku sedikit
kesal. Akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya nanti.
***
Gikwang mengambil sekaleng minuman
soda lalu menikmatinya di balkon kamar. Ia mencoba mengingat siapa gadis yang
ditemuinya tadi pagi sembari menikmati angin sepoi.
“Kim Hana… Ehm, apa aku pernah
sekelas dengan gadis berambut panjang seperti dia? Tidak! Aku rasa tidak…” Dahi
Gikwang berkerut, mencoba mengingat – ingat kembali masa lalu.
Tiba – tiba, angin kencang bertiup. Brak!
Suara daun jendela yang tertutup itu membuat Gikwang terperanjat dan bangkit
dari kursi. Ia masuk ke dalam kamar dan mendapati beberapa figura foto di atas
meja terjatuh.
“Wah, untung saja tidak pecah…”
Gikwang memunguti figura – figura foto itu. Tak sengaja, ia melihat sebuah
boneka beruang kecil berwarna cokelat di kolong meja.
Gikwang mengambil boneka itu,
“Boneka siapa ini? Lucu sekali.”
Sejenak, Gikwang menimang – nimang
benda itu. Kemudian ia letakkan di atas meja, “Wah, ini masih tampak bagus…”
***
Keesokkan harinya, Gikwang
memutuskan untuk pergi menemui Yoseob. Ia berniat menanyakan tentang gadis yang
ia temui kemarin. Bagaimanapun, Yeosob adalah sahabatnya sejak SMA.
Gikwang berjalan menuju rumah
Yoseob. Ia sudah berulang kali berusaha menelepon Yoseob semalam, tapi tetap
tak ada jawaban. Tak ada pilihan lain selain mendatanginya langsung.
“Hey, Gikwang…”
Otomatis, Gikwang berhenti dan
mendapati Hana yang sedang berdiri tepat di depan sebuah cafe.
“Oh, Hana. Sedang apa kau disini?” Tanya
Gikwang menghampiri Hana.
“Aku sedang bekerja di cafe ini. Kau
sendiri, mau kemana?”
“Aku dalam perjalanan ke rumah
sahabatku…” Jawab Gikwang santai.
“Oh, begitu. Eh, mau mampir ke café
sebentar? Ada makanan enak, lho…”
“Wah, terimakasih. Aku rasa, aku
buru – buru. Lain kali saja ya…” Elak Gikwang.
“Ah, sudahlah. Ayo masuk! Kali ini,
aku yang traktir…”
Saat mulai masuk, Gikwang terkejut
dan langsung menarik Hana kedalam pelukannya, berusaha melindungi Hana. Praaangg…!
Sedetik kemudian, suara pecahan bola lampu mengagetkan para pengunjung café.
Bola lampu yang cukup besar itu jatuh ke lantai dan serpihannya berhamburan
dimana – mana.
Hana tampak terkejut. Bisa ia dengar
nafas Gikwang yang sedikit memburu. Ketika sadar, refleks Hana melepaskan pelukan
Gikwang.
“Em… Kau, tidak apa – apa?” tanya
Gikwang setengah terbata. Suasana kini menjadi sedikit canggung.
“Oh, aku baik – baik saja. Huft,
yang tadi itu hampir saja…” ucap Hana sambil tersenyum lega.
“Syukurlah…” Gikwang juga tersenyum.
***
Aku memilih duduk di dekat jendela
agar suasana petang yang cerah ini bisa jelas terlihat sembari menikmati
secangkir cokelat hangat buatan café ini.
Hana menghampiriku dan duduk dikursi
tepat dihadapanku. “Em, untuk yang tadi, terima kasih ya. Entah apa yang
terjadi kalau kau tidak menyelamatkanku…”
“Anggap saja sebagai balas budi…”Sahutku.
“Baik. Oh, tunggu sebentar! Akan ku
ambilkan beberapa potong kue…” ucapnya kemudian berlalu begitu saja.
Aku memandang kendaraan – kendaraan
yang lalu lalang di jalanan sembari merenung. Ada satu hal yang menurutku
sedikit janggal. Saat aku memeluk Hana tadi, aku bisa merasakan dengan jelas
aroma bunga melati. Sangat wangi. Bahkan aku berpikir itu bukan aroma minyak
wangi. Aromanya seperti bunga asli. Tapi, apa Hana memakai minyak wangi aroma
melati? Aneh sekali, mengingat seorang wanita seperti Hana memakai wewangian seperti
itu.
“Nah, ini kuenya…” Hana datang
dengan membawa dua potong kue disebuah piring kecil. “Ini dari atasan ku karena
kau mau membantu membersihkan serpihan bola lampu tadi…”
“Wah, terimakasih. Tampaknya lezat…”
“Tentu saja. Ayo dimakan!”
Aku mengangguk dan langsung
mengambil sebuah sendok, lalu menikmati kuenya.
Hana tersenyum melihatku karena
senang memakan kuenya.
***
“Kau lucu sekali, Gikwang…” Gumamku
sambil memperhatikan Gikwang menyantap kue yang ku berikan.
“Hah? Kau bilang apa?”
“Oh, tidak. Aku tidak bilang apa –
apa…” Sahutku sekenanya.
“Jangan berbicara dengan mulut penuh makanan
seperti itu…” Lanjutku mengingat Gikwang tadi bertanya dengan mulut yang masih
penuh. Kalau aku tidak bisa mengendalikan emosi, sudah ku cubit pipinya.
“Apa atasan mu tidak marah?” tanya Gikwang
setelah selesai menghabiskan semua kue.
“Tidak. Memangnya kenapa?”
Gikwang tampak heran, “Tidak. Aku hanya ingin
bertanya…”
Aku hanya ber-oh ria menanggapi jawaban
Gikwang.
Tiba – tiba saja, Gikwang menepuk jidatnya,
“Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan Yoseob. Hana, aku pergi dulu ya…”
Refleks, aku ikut bangkit dari kursi. Hampir
bersamaan dengan Gikwang. “Aku ikut…”
***
Gikwang dan Hana berjalan beriringan
menuju rumah Yoseob.
Baguslah kalau dia memang mau
ikut. Setidaknya, aku bisa sekalian menunjukkannya pada Yoseob… Batin
Gikwang.
“Apa rumah Yoseob masih jauh?” tanya
Hana yang sudah tampak sedikit lelah.
“Tidak. Sebentar lagi sampai…”
Tak lama berselang, Gikwang berhenti
tepat di depan sebuah rumah.
“Ini rumah Yoseob?” tanya Hana.
Gikwang mengangguk, lalu beralih
mendekati pintu.
Tiing-toong… Tak ada sahutan
dan pintu masih tertutup.
Tiing-toong… Untuk yang kedua
kalinya, tetap tidak ada tanda – tanda seseorang membuka pintu.
“Hm, apa Yoseob tidak ada di rumah?”
tanya Hana.
“Entahlah. Sejak kemarin dia memang
tidak bisa dihubungi…” Jawab Gikwang sembari berusaha mengintip dari jendela.
“Rumah ini tampak gelap. Sepertinya
tidak ada orang…” sahut Hana ikut mengintip juga.
“Pergi kemana anak ini? Kenapa tidak
memberi kabar?” Sungut Gikwang sambil berkacak pinggang.
“Mungkin dia buru – buru, jadi tidak
sempat memberitahumu…” ucap Hana menenangkan Gikwang.
“Yasudah. Ayo, ku antar kau pulang…”
ucap Gikwang dan segera menarik tangan Hana. Kali ini ia kesal.
***
Aku dan Hana duduk di salah satu
halte bis. Menunggu dan menunggu. Tapi, sejak tadi tak ada bis yang lewat.
“Eh, kau pulang saja duluan… Ini
sudah hampir jam sebelas malam…” Ucap Hana dengan nada sedikit horor.
“Kau ingin menunggu sendirian di
tempat ini? Apa tidak takut?” tanya ku, mencoba meyakinkan Hana.
“Tidak juga…”
“Tidak juga? Berarti iya, kau
takut…”
Tiba – tiba, suasana disekelilingku
terasa dingin. Angin semilir bertiup dan menggoyangkan dedaunan. Aku beralih
memandang Hana. Ia hanya diam dan menatap lurus kedepan. Tak memperdulikan
angin yang menerpa rambutnya.
“Dingin?” tanya Hana tiba – tiba.
Matanya tetap memandang lurus kedepan.
Aku sedikit terkejut, lalu
mengangguk menanggapi pertanyaan Hana.
“Kau sudah ingat siapa aku?” Hana
bertanya lagi. Kini matanya beralih memandangku.
“Belum. Aku masih belum ingat siapa
kau. Maaf…”
“Yasudah. Aku maafkan. Tapi,
berusahalah untuk ingat. Aku akan sangat senang kalau kau bisa ingat denganku
lagi…”
Kali ini bisa kulihat jelas wajah
Hana memohon dan berharap.
Tak lama kemudian, sebuah bis
berhenti tepat di depan halte. Aku dan Hana segera masuk. Bis melaju cukup
kencang. Ini karena jalanan memang sudah sepi. Hanya aku dan Hana yang menjadi
penumpang bis ini.
Aku menatap jam tangan. Sudah hampir
pukul 23.30.
“Han-na…?” Aku baru saja ingin
bertanya pada Hana. Tapi kulihat, ia sudah terlelap dan menyenderkan kepalanya
dikaca jendela bis.
Perlahan, aku memindahkan posisi
kepala Hana. Setidaknya dia bisa bersender pada bahuku. Seketika itu, aku
terdiam. Aroma melati itu kini kembali menyeruak bersamaan dengan udara dingin
yang tiba – tiba berhembus. Entah kenapa, aku merasa suasana berubah menjadi
sedikit horor.
***
Pagi menjelang. Berkas cahaya
matahari menebus celah – celah jendela bis yang dinaiki Gikwang dan Hana
semalam. Gikwang membuka matanya, berusaha mengumpulkan kembali nyawanya yang
setengah melayang semalam.
Gikwang bangkit dari kursi, lalu
mengedarkan pandangannya. Astaga, semalaman aku tertidur di bis ini…
Batin Gikwang. Kemudian, ia pergi keluar bis.
“Oh, kau sudah bangun?” tanya
seseorang tiba – tiba. Ternyata ia supir bis itu. Ia tampak sebaya dengan Gikwang.
“Ah, iya. Maaf, sudah merepotkanmu.”
Ucap Gikwang sembari menunduk.
“Haha, tidak apa. Oiya, ini…” Supir
bis itu memberikan sebuah boneka beruang kecil berwarna cokelat. Gikwang hanya
terdiam. Boneka yang diberikan padanya itu serupa sekali dengan yang ia punya.
“Lho? Dari mana kau dapatkan benda
ini?” tanya Gikwang.
“Semalam, aku menemukannya
tergeletak di lantai bis. Tepat di sebelah bangku yang kau duduki. Jadi, aku
pikir itu milikmu…” jelas si supir.
Disebelahku? Aku bahkan tidak
membawa boneka ini. Batin Gikwang.
“Lalu, apa kau melihat seorang gadis
yang duduk disebelahku?” tanya Gikwang penuh selidik.
“Seorang gadis? Hm, entahlah. Aku
tidak begitu memperhatikan… Mungkin dia sudah turun duluan ketika bis
berhenti.”
“Hm, baiklah kalau begitu. Aku
permisi dulu…” pamit Gikwang.
Kemudian, Gikwang berlari secepatnya
menuju rumah. Ada sesuatu yang harus segera ia pastikan.
Setibanya di rumah, Gikwang segera
berlari menuju kamarnya. Tak peduli dengan nafasnya yang tak beraturan.
“Tidak ada! Boneka beruang itu tidak ada di
sini…” ucap Gikwang ketika mendapati mejanya hanya dihiasi oleh beberapa foto
berfigura.
“Aneh…” gumam Gikwang, kemudian meletakkan
kembali boneka beruang yang ada ditangannya ke atas meja.
Drrrt…
Telepon genggam Gikwang bergetar. Ada sebuah pesan yang masuk.
Gikwang, kau
sudah di rumah?
Hana
Gikwang tersenyum, lalu membalas pesan yang
ternyata dari Hana.
Aku baru saja
sampai J
Bagaimana dengan
mu? Kenapa tidak memberitahuku dulu sebelum pergi?
Tak lama kemudian, sebuah pesan kembali
masuk.
Haha, maafkan
aku. Kau tertidur nyenyak sekali. Jadi aku tidak enak membangunkanmu ^^’
Aku sedang dalam
perjalanan menuju rumahmu. Segeralam mandi! ;)
Gikwang terkejut dan langsung
bergegas ke kamar mandi.
***
“Wah, kau masih memajang foto ini…”
Kagum Hana, sembari menatap foto kelulusan SMA Gikwang yang terpajang rapi di
dinding ruang tamu.
“Tentu saja. Aku tidak ingin
melupakan masa kelulusan SMA itu…” ucap Gikwang seraya meletakkan dua gelas
minuman diatas meja.
“Hm, apa kau punya foto kelulusan
seluruh kelas kita? Seingatku kau menyimpannya…” tanya Hana.
Gikwang mengingat sejenak,
“Entahlah…”
Kemudian, Gikwang mengambil foto
kelulusannya itu dari dinding. Gikwang membalik figuranya.
“Kau menyimpannya di balik fotomu?”
tanya Hana, berusaha memastikan.
“Aku, tidak begitu yakin… Tapi, aku
rasa ada disini…”
Gikwang menarik keluar foto
kelulusannya perlahan. Dan benar saja, ternyata dibelakang foto itu ada
selembar foto lagi. Ia mengambil foto itu dari figura.
“Wah, kenapa aku jadi sedikit grogi?”
ungkap Hana.
“Tenang. Sebentar lagi aku akan
ingat siapa kau…” ucap Gikwang sambil tersenyum senang.
Gikwang memandangi foto itu dan
memperhatikan semua wajah teman – temannya. Hana hanya duduk disofa, menunggu
reaksi Gikwang ketika sudah mengingatnya.
“Apa kau gadis ini?” tanya Gikwang
sembari menunjuk salah satu gadis dalam foto itu yang berambut panjang.
“Haha. Itu bukan aku, Gikwang.”
“Apa dulu kau berambut panjang?”
tanya Gikwang.
“Hm, coba tebak lagi…” Hana
membiarkan Gikwang berkutat kembali dengan foto itu.
“Oh, sudah waktunya aku bekerja…
Sebaiknya aku permisi dulu. Sampai nanti, Gikwang…”
“Eh, Hana. Tunggu! Hey, aku belum
tau siapa kau… Hey!” Gikwang terlambat. Hana sudah berlalu pergi keluar rumah.
Gikwang kembali masuk ke dalam
rumah. Ia belum bisa menebak siapa Hana.
“Tunggu, buku itu… Dimana buku itu?” Gikwang
bergegas mencari buku itu di lemari kamar. Membongkar sebuah laci dimana ia
menyimpan benda – benda semasa SMA.
“Ketemu! Buku ini…”
Gikwang beralih menuju mejanya, membuka satu
per satu halaman buku itu.
Buku berwarna biru muda dengan sebuah pita
disampulnya. Buku harian itu memang bukan milik Gikwang. Saat hari kelulusan
SMA, Gikwang menemukan buku itu di dalam tasnya.
-Flashback
Hari ini Gikwang datang ke sekolah
lebih pagi dari biasanya. Tentu saja karena hari ini adalah hari pengumuman
kelulusan. Ia benar – benar tak sabar.
Gikwang duduk di bangkunya. Kelas
masih sangat sepi. Hanya beberapa tas saja yang tampak di tinggal keluar begitu
saja oleh pemiliknya.
“Hey, Gikwang. Ayo keluar…”
Gikwang segera meletakkan tasnya dan
bergegas keluar mengikuti ajakan sahabatnya, Yoseob.
Tak lama kemudian, setelah Gikwang
sudah pergi cukup jauh, seseorang mendekati bangku Gikwang. Ia mengendap sambil
membawa sebuah buku. Ia meraih tas Gikwang dan memasukkan buku itu, kemudian
mengembalikan tas Gikwang ke posisi semula. Setelah itu, ia bergegas pergi.
Setengah jam kemudian, Gikwang
kembali ke kelas untuk mengambil tasnya.
“Cepat ambil tasmu! Aku tidak ingin
mereka meninggalkan kita…”
“Tunggu! Ada sesuatu di dalam
tasku…”
Gikwang mengambil dan menunjukkan
sebuah buku berwarna biru muda kepada Yoseob.
“Itu buku harianmu? Astaga, lucu
sekali…”
“Bukan. Aku tidak punya benda
seperti ini…”
Gikwang membuka buku itu, memperhatikan
isinya. Ia tampak terkejut. Di dalam foto itu banyak tertulis ungkapan –
ungkapan tentang dirinya dan juga beberapa foto dirinya. Ia beralih ke halaman
paling belakang. Tapi, tak ia temukan nama pemiliknya.
“Ah, sudahlah. Lain kali saja kau melihatnya!
Kita sudah hampir terlambat. Ayo!” Yoseob menarik Gikwang keluar kelas.
-Flashback selesai
Seandainya
aku punya keberanian, akan ku pastikan aku mengatakannya padamu…
Tapi,
mulutku terkunci rapat, bahkan ketika hanya memandangmu…
Dan
sungguh, aku sudah terlambat…
Terima
kasih kau sudah menghiasi hari – hari ku selama di sekolah ini…
Aku
senang sekaligus sedih jika mengingatmu… Lee Gikwang…
Mungkin
aku tidak akan menjadi orang pertama dalam hatimu, tapi ku pastikan kau akan
tetap jadi yang pertama dan terakhir bagiku…
Gikwang menutup buku itu,
mengakhirinya dengan membaca sebuah pesan yang dituliskan pemilik buku di
halaman paling akhir. Ia tetap tak menemukan petunjuk apapun tentang Hana. Apalagi
pemilik buku itu.
“Ya Tuhan, seharusnya hari ini aku
pergi ke makam nenek…” Gikwang menepuk jidatnya sendiri, merutuki dirinya yang
sudah mulai pelupa.
***
Gikwang menaburkan bunga di atas
makam nenek. Berdoa sejenak, lalu mengelus pelan nisannya.
“Gikwang kangen nenek… Aku akan
lebih sering mengunjungi nenek. Selamat tinggal, nek. Gikwang pergi dulu…”
bisiknya sembari melambaikan tangan kearah pusara itu. Ia memang benar – benar merindukan neneknya.
Gikwang berbalik dan terdiam
sejenak. Perhatiannya tertuju pada sebuah nisan. Ia menghampiri seseorang
tampaknya sedang mengunjungi pusara dari nisan itu.
“Em, permisi…” ucap Gikwang pelan.
Terdengar jelas, seorang ibu yang ada di dekat pusara itu menangis.
Ibu itu mendongak dan memandang
Gikwang dalam – dalam.
Gikwang membaca tulisan di nisan
itu, “A-apa yang terbaring disini bernama Kim Hana?” tanyanya sedikit ragu.
Ibu tadi bangkit, “Gikwang? Kau Lee
Gikwang? Apa kau Lee Gikwang?”
Gikwang terkejut, “Da-dari mana
nyonya tau namaku?”
“Oh, astaga, Gikwang… Kau tidak
berubah. Kau masih saja seperti dulu, ketika SMA…”
Gikwang tertegun sejenak. “A-apa
nyonya kenal dengan ku?” tanya Gikwang ragu.
Nyonya itu mendekat ke arah Gikwang.
Gikwang mundur selangkah. Lalu tiba – tiba saja, kedua tangan nyonya itu
memegang kedua pipi Gikwang, matanya juga tampak berkaca – kaca.
“Kau… Apa kau mencintai Hana? Kim
Hana?”
Ribuan tusuk anak panah serasa
menancap didada Gikwang. Seketika itu nafasnya tertahan.
“Aku kenal kau, nak. Sangat
mengenalmu. Hana adalah anakku…”
I-ibu Hana? Kim Hana? Batin
Gikwang.
“Ini. Kau ingat ini?” Ibu Hana
menunjukkan sebuah foto. Seorang gadis berambut keriting sebahu dan memakai
kacamata tebal itu tampak tersenyum.
Mata Gikwang membulat, bahkan
mulutnya refleks terbuka. “I-ini… Hana… Kim Hana?”
Kini ingatan itu kembali walaupun
samar - samar. Kim Hana. Gadis yang bahkan tak pernah sedikitpun Gikwang dengar
suaranya. Gikwang hanya tau, ada gadis super culun bernama Kim Hana di kelasnya.
Flashback-
“Lee Gikwang… Lee Gikwang…” Teriakan
gadis berambut keriting sebahu dan berkacamata itu teredam oleh teriakkan –
teriakkan siswi lain yang setia menunggu kedatangan Gikwang di gerbang sekolah.
“Ah, seperti ini lagi… Menyebalkan
sekali…” dengus Yoseob kesal. Sebagai sahabat seorang idola sekolah, ia merasa
jenuh dengan kelakuan para penggemar.
Gikwang hanya tersenyum, mencoba
ramah pada siswi – siswi itu. Bukannya tenang, mereka justru semakin menjadi.
Gikwang dan Yoseob memaksa menerobos kerumunan yang mulai tak terkendali.
Terlihat mereka saling dorong dan tarik.
“Aaa… Lee Gik…” Gadis berambut
keriting itu terjatuh karena terdorong oleh siswi yang lain. Jatuh tepat di
hadapan Gikwang.
“Oh, kau baik – baik saja?” Gikwang
mendekati gadis itu.
Gadis itu hanya mengangguk sambil
terus menunduk. Ia tau, apabila ia menatap Gikwang, bisa mati di tempat
seketika.
“Ayo! Cepat pergi dari sini! Mereka
mulai menggila…” Segera Yoseob menarik Gikwang untuk bangkit dan kabur bersama.
Menjauh sejauh – jauhnya dari kerumunan siswi – siswi histeris itu.
Gadis tadi akhirnya mendongakkan
kepalanya. Menatap perginya Gikwang dengan sedikit menyesal. “Seharusnya, tadi
itu kesempatan!” rutuknya sembari membenarkan kacamatanya yang miring.
***
Aku duduk di dekat sebuah tas yang
diabaikan pemiliknya begitu saja di atas rerumputan. Pemiliknya adalah seorang
pemuda yang sejak awal aku sukai. Tapi, terlalu sulit untuk mendekatinya.
Berbicara dengannya saja jarang. Bahkan aku selalu terdiam ketika berhadapan
dengannya, walaupun aku dan dia sekelas selama dua tahun terakhir ini.
Sebuah boneka beruang kecil berwarna
coklat. Sudah sejak lama aku membuat sendiri boneka ini dan berencana
memberikannya pada Gikwang tepat pada hari kelulusan. Dan inilah saatnya.
Seharusnya aku bisa memberikannya langsung pada Gikwang, apalagi tadi pagi
Gikwang sempat mendekatiku ketika terjatuh. Tapi entah mengapa, mulutku selalu
tertutup rapat.
Gikwang, aku harap kau suka…
Tolong jaga boneka ini… Anggap saja dia adalah diriku… Aku menatap sejenak
boneka ini, lalu memasukkan diam – diam kedalam tas Gikwang. Tak terhitung
sudah berapa banyak benda yang ku berikan pada Gikwang dengan cara diam – diam
seperti ini. Tapi, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain ini. Maafkan aku,
Gikwang.
“Eh, apa ini?”
Aku mengambil secarik kertas, tepat
di bawah tas Gikwang. Membacanya dengan seksama…
Kepada
pemilik asli buku berwarna biru…
Aku
cukup senang kau memberikannya padaku, dan terimakasih…
Tapi
ada satu hal yang harus ku ketahui… Sebenarnya, siapa kau?
Berhentilah
menjadi secret admirer –ku! Aku lebih suka kalau kau menunjukkan dirimu…
Pergi
dan temui aku setelah acara pengumuman kelulusan di seberang sekolah…
Lee Gikwang…
Aku tertegun, tak menyangka Gikwang
akan melakukan hal seperti ini. Kalau sudah begini, apa yang harus kulakukan?!
***
Aku dan Yoseob berniat menghampiri
tas yang ku tinggalkan begitu saja di taman. Anehnya, ada seorang gadis yang
sedang berjalan bolak – balik di dekat tasku. Sepertinya ia tampak bingung.
“Apa ada sesuatu yang…?” Gadis itu
tampak terkejut ketika aku dekati. Refleks kedua mata di balik kacamata itu
membulat.
“Oh… Em…” Gadis itu hanya bergumam
tak jelas. Sekarang wajahnya sudah merona. Ah, lucu sekali.
“Apa ada barang yang terjatuh?”
tanyaku lagi.
Gadis itu hanya menggeleng cepat.
Kemudian ia menunduk sejenak, lalu pergi menjauh. Aku ingat, dia gadis yang
terjatuh di depan gerbang tadi pagi.
Aku mendekati tasku. Ternyata,
kertas kecil yang sengaja ku letakkan di bawah tas tadi sudah tidak ada. Apa
gadis itu yang mengambilnya? Apa benar dia secret admirer ku selama ini?
“Kau kenal gadis itu?” tanyaku pada
Yoseob.
“Oh, gadis yang berkacamata itu? Dia
Kim Hana. Apa kau tidak mengenalnya? Dia bahkan sekelas dengan kita.”
“Eh, benarkah? Aku tidak pernah
melihat dia sebelumnya?”
“Hm, dia memang pendiam di kelas.
Maklumlah, gadis kutu buku…” Aku mengangguk menanggapi jawaban Yoseob.
Entah kenapa aku menyadari ada yang aneh dalam
diriku. Perasaan yang aku sendiri tak tau apa itu dan belum pernah aku rasakan.
Bahkan aku bisa merasakan dengan jelas ketika berhadapan dengan gadis itu, dan
benar – benar terasa ketika tadi aku melihat dan mendengarnya bergumam. Aku meraba
dada sebelah kiriku, jantungku berdebar lebih cepat. Apa aku punya perasaan
pada gadis itu? Menyukainya ketika pertama kali bertemu?
***
Setelah acara pengumuman kelulusan
selesai.
“Eh, Gikwang, mau kemana? Tunggu aku! Hey,
Gikwang!” Gikwang mengabaikan panggilan Yoseob, ia tetap terus berjalan dan
semakin cepat.
Yoseob terpaksa mengikuti kemana
perginya Gikwang, hingga akhirnya Gikwang berhenti di dekat sebuah pohon, tepat
diseberang sekolah.
“Untuk apa kita kesini?” tanya
Yoseob sembari berusaha mengatur nafas. Ia lega karena akhirnya Gikwang
berhenti.
Gikwang hanya diam. Sesekali ia
melihat kekanan dan kekiri.
“Mencari siapa?” tanya Yoseob dengan
nada kesal.
“Gadis berkacamata dan berambut
keriting. Yang tadi bertemu dengan kita…” Gikwang tetap tak beralih menatap
sekelilingnya.
“Aku merasa dia gadis yang memberiku
buku biru itu…” terang Gikwang.
***
Aku berdiri tepat di depan gerbang
sekolah. Bisa ku lihat jelas Gikwang dan sahabatnya itu berdiri disana. Dilema
kini menjalar keseluruh tubuhku. Keringat dingin mengalir di dahiku. Apa yang
harus ku perbuat? Mengakui semuanya? Atau membiarkan Gikwang penasaran dan
memendam perasaan ini sampai pada waktunya? Aku menarik nafas dalam – dalam
lalu menghembuskannya sekeras yang aku bisa. Kuputuskan untuk menemui Gikwang
dan siap menerima segala resiko yang mungkin terjadi. Tapi aku belum berpikir
untuk mengakui perasaanku padanya.
Kulangkahkan kaki ku menuju posisi
Gikwang. Aku merasa lututku bergetar hebat. Bisa kulihat dengan jelas Gikwang
mengalihkan pandangannya kearahku. Aduh, kenapa aku jadi tak tenang?
***
“Gadis itu…” Aku menatap jelas Kim
Hana berjalan dan segera menyebrang. Aku merasakan jantungku kini berdebar
lagi. Refleks, aku memegang dada kiriku.
“Kau kenapa? Berdebar?” tanya Yoseob
sambil tersenyum dengan nada jahil.
“Tidak…”
“Apa kau menyukai gadis itu?” tanya
Yoseob lagi. Bahakan kini wajahnya mendekat kewajahku. Masih dengan nada jahil.
Aku terdiam. “Apa menurutmu begitu?”
tanyaku kemudian.
“Hm, jadi kau menyukai Kim Hana?
Wah, beruntung sekali dia jadi yang pertama…”
“Apa gadis itu benar – benar menuju
kesini?” gumamku berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mau menjawab
pertanyaan Yoseob yang terakhir tadi.
“Aku rasa begitu… Dia sepertinya
ingin menyebrang jalan…”
Yoseob benar. Aku lihat ia sedang
berdiri di pinggir jalan, melihat kekiri dan kekanan. Jadi dia benar – benar secret
admirerku? Untuk kesekian kalinya, aku merasa jantungku berdebar lagi.
“Wah, wajahmu seperti tomat saja.
Apa kau grogi bertemu Hana, hah?”
Aku terkejut dan refleks meraba
wajahku. “Apa semerah itu?”
Yoseob mengangguk. Apa iya aku
menyukai gadis itu? Tapi, gadis itu tidak punya hal istimewa. Bahkan ia tidak
cantik dan terlihat sangat culun. Apa memang benar cinta itu buta? Apa ini yang
namanya cinta pertama?
Hana mulai menyeberangi jalan.
Terlihat jelas ia terus menunduk dan tampak tidak tenang. Senada dengan Hana,
aku juga tidak tenang.
“Kau yakin dia secret admirermu
selama ini?” tanya Yoseob.
“Entahlah… Tapi aku rasa…” Aku terdiam dan terkejut ketika melihat sebuah
mobil tampak melaju begitu cepat.
“Hana! Berhenti!” Aku berusaha
berteriak sekeras mungkin agar Hana bisa mendengar.
Hana memang berhenti seketika, tapi ia berdiri
tepat di tengah jalan. Ia melihat ke sebelah kanannya dan justru membeku.
Karena panik, aku segera berlari menuju Hana. Mobil itu semakin mendekat. Aku
berusaha mendorong Hana. Tapi…
Ciiittt… Braaakk!
***
Ciiittt… Braaakk! Suara itu membuat darahku berdesir lebih
cepat. Aku terjatuh tepat di atas trotoar kemudian berusaha berdiri sekuat
tenaga. Tak peduli walaupun tubuhku terasa nyeri.
“Gikwaaang…” Aku mendengar Yoseob
berteriak.
Gi-Gikwang… Aku segera
berlari menghampiri Gikwang, begitu pula dengan Yoseob.
Aku menatap Gikwang dan merasa air
mataku mulai mengalir.
“Gikwang, kau harus kuat! Aku akan
segera membawamu ke rumah sakit. Jadi bersabarlah sebentar…” Yoseob mengangkat
kepala Gikwang yang terus mengalirkan darah segar. Terlihat jelas wajah Yoseob
tampak sangat cemas, bahkan tangisannya hampir pecah.
“Gi-Gikwang… Ma-maafkan aku…” Aku
terisak menatap Gikwang yang berusaha tersenyum menatapku. Bodoh, aku memang
bodoh! Ia tidak akan begini, kalau bukan karena kebodohanku.
Semua orang mengelilingi aku,
Yoseob, dan Gikwang. Terdengar jelas tangisan siswi – siswi penggemar Gikwang,
dan itu membuatku semakin sedih.
“Se-secret a-admirer…”
Gikwang berucap dengan terbata – bata. Terlihat jelas ia masih berusaha tersenyum menatapku.
“Te-terima… Kasih… Kim Hana…”
Aku tertegun dengan ucapannya
barusan. Kini air mataku benar – benar tak mampu kubendung.
***
“Te-terima… Kasih… Kim Hana…”
Aku berusaha tersenyum sekuat tenaga
dihadapannya. Bisa ku lihat dengan jelas bulir – bulir air mata dari balik kaca
matanya. Ku mohon Hana, jangan menangis! Aku justru merasa senang melihatmu
selamat.
Tiba – tiba aku merasa pandanganku kabur.
Kepalaku terasa sakit sekali.
“Gikwang bertahanlah! Sebentar lagi
ambulan akan datang… Bertahanlah, Gikwang!”
Akhirnya aku melihat Yoseob
menangis. Tidak biasanya Yoseob seperti ini. Ia adalah orang yang paling
humoris yang pernah ku kenal.
“Hana, apa kau menyukaiku?” Aku
kembali menatap Hana.
“Tidak, Gikwang. Aku tidak
menyukaimu…”
Aku terdiam sejenak. “Ja-di…?”
“Aku tidak menyukaimu karena aku
mencintaimu, Lee Gikwang… Aku memang bodoh, mencintai orang yang tidak mungkin mencintaiku…”
Rasanya aku ingin tertawa mendengar
pengakuannya. Ia begitu jujur dan benar – benar polos. Jarang sekali aku
melihat gadis seperti dia.
“Baguslah kalau begitu. Aku senang,
karena kau juga sudah membuat sesuatu yang aneh disini…” Aku meraih tangannya
dan meletakkannya diatas dada bagian kiri, dimana jantungku terasa berdebar.
"Apa ini sama dengan yang kau
rasakan selama ini?"
Hana tertegun, “Ja-jadi kau…?”
Untuk kesekian kalinya pandanganku
terasa kabur. Gelap, semua mulai tak terlihat. Aku bahkan tak bisa mendengar
dengan jelas pertanyaan Hana. Kepalaku juga terasa begitu sakit. Nyeri sekali.
Seperti tertusuk ribuan jarum.
Terakhir yang bisa ku dengar adalah
suara sirine ambulan yang datang mendekat.
***
Seminggu sudah berlalu sejak insiden
Gikwang tertabrak mobil. Selama seminggu ini, Gikwang dirawat secara intensif
di rumah sakit dan belum sadarkan diri. Ia mengalami pendarahan begitu hebat
dikepalanya.
“Gi-gikwang? Kau sudah sadar?” tanya
Yoseob ketika melihat Gikwang mulai mengerjapkan mata. Selama seminggu ini
pula, Yoseob setia menunggu Gikwang.
Gikwang mengangkat kepalanya dan
bersender pada dinding.
“Yoseob? Sudah berapa lama aku di
sini?” tanya Gikwang sambil mengucek kedua matanya.
“Ah, Lee Gikwang… Syukurlah… Kau
sudah disini selama lima abad, dan aku hampir menjadi kakek – kakek tua karena
itu…” Yoseob mengacak – acak rambut Gikwang.
“Ya ampun, separah itukah
kecelakaanku waktu itu?”
“Kalau tidak parah, kau tidak
mungkin tidur selama seminggu…” seorang gadis tiba – tiba masuk kedalam kamar
rawat Gikwang sambil tersenyum. “Buah – buahan ini bagus untuk memulihkan
tenagamu…”
“Wah, terimakasih, Hana. Aku rasa
Gikwang akan menyukainya…” Yoseob melirik Gikwang.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?”
Yoseob
menyikut Gikwang.
Gikwang beralih menatap Hana, “Siapa
gadis itu?”
“Ah, dia Hana, Gikwang. Bagaimana
bisa kau lupa?” sahut Yoseob.
“Hana?” gumam Gikwang.
Hana menatap Gikwang dengan cemas.
Perasaannya mulai kacau.
“Jangan bercanda, Gikwang! Kau tidak
lupa ingatan, kan?” tanya Yoseob dengan nada cemas.
“Lupa ingatan? Bagaimana bisa aku
lupa ingatan kalau aku mengingatmu, Yoseob.”
Hana hanya diam, mencoba menelaah
lebih dalam apa yang baru saja dikatakan Gikwang.
Flashback selesai-
“Kau tidak apa – apa?” Ibu Hana
menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Gikwang.
Refleks, Gikwang kembali dari alam
bawah sadarnya.
“Jadi, Hana… Sudah berapa lama ia
pergi..?” nada suara Gikwang menurun. Matanya tampak sedikit berkaca – kaca.
“Sejak tiga tahun yang lalu, ketika
ia pulang dari membesukmu…” jawab Ibu Hana.
“Sudah selama itu? Bagaimana ia
bisa…”
“Tertabrak. Persis seperti kau
tertabrak waktu itu…” Ibu Hana menjawab pertanyaan Gikwang, seakan tau apa yang
akan ditanyakan Gikwang.
Setetes air mata jatuh dipipi
Gikwang. Ia berlutut di sisi makan Hana, mengelus nisan sambil terisak.
“Maafkan aku, Hana… Maafkan aku… Aku
memang tidak tau diri… Maafkan aku…”
Ibu Hana ikut berlutut dan merangkul
bahu Gikwang, “Sudahlah, nak… Aku rasa Hana sudah tenang di alam sana...”
Gikwang menatap Ibu Hana, “Tidak,
nyonya… Hana mendatangiku sejak tiga hari yang lalu… Ia tampak berbeda, tapi
jelas dari matanya ia Kim Hana…”
“Be-benarkah?” Mata Ibu Hana kini
mulai berkaca – kaca. “Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia baik – baik
saja…?”
“Ia baik – baik saja… Ia tidak
seperti semasa SMA, ia berambut panjang dan tidak berkaca mata…”
***
Air dimata Ibu Hana tak bisa
dibendung lagi. Kini ia menangis.
Drrt… Drrt… Aku segera
merogoh kantong mencari telepon genggamku.
Temui aku sekarang di pinggir danau dekat
pemakaman…
Hana
Segera setelah mendapat pesan
singkat dari Hana, aku berlari keluar menuju pemakaman. Maaf nyonya, aku pergi
dulu menemui anakmu… Aku berlari sekuat tenaga menuju danau yang kebetulan
memang dekat dengan pemakaman.
Sesampainya di sekitar danau, aku mengedarkan
pandangan keselilingku. Mencari sosok Hana yang entah sedang menunggu dimana.
“Gikwang…”
Aku berbalik dan menangkap sesosok gadis
memakai dress berwarna putih. Apa itu Hana?
Aku menghampirinya perlahan.
“Takut?” tanyanya ketika aku hanya berjarak
lima meter dari tempat ia berdiri.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Masih berusaha
mengatur nafasku.
“Jangan mentapku dengan tatapan penyesalan
seperti itu…” ujar Hana.
“Kim Hana… Gadis berambut keriting sebahu dan
berkacamata… Kau senang aku mengingatmu?” Aku menatap Hana dalam – dalam. Air
mataku serasa ingin tumpah.
“Tentu. Setelah tiga tahun berlalu,
akhirnya kau bisa mengingatku lagi… Terimakasih…”
Aku berlari dan memeluk Hana. Seketika
itu, aku bisa mencium aroma melati. Persisi seperti dua hari terakhir ini.
“Maafkan aku, Hana… Maafkan aku…”
Hana hanya diam. Entah kenapa, aku
tidak bisa merasakan detak jantungnya, bahkan dalam jarak sedekat ini. Tubuhnya
pun terasa begitu dingin. Ini semua benar! Kim Hana memang sudah pergi tiga
tahun lalu.
“Sudah, tak apa… Aku mengerti
keadaanmu waktu itu…”
Aku mempererat pelukanku. Aku tau,
ini yang terakhir bagiku.
“Aku dengar orang amnesia itu akan
melupakan hal – hal yang paling ia ingat. Dan aku senang, karena aku termasuk
orang yang dulu paling kau ingat…”
Aku melepaskan pelukanku dan masih
tertunduk.
“Berhentilah menangis! Lee Gikwang
yang ku kenal, tidak secengeng ini…” Hana mengangkat wajahku. Ia mengusapkan
jemarinya di bawah mataku, berusaha menghapus air mata yang mengalir dipipiku. Wajah
Hana pucat, itu yang bisa tertangkap jelas dimataku.
“Seperti dulu, aku ingin kau
merasakan hal yang sama seperti apa yang kau rasakan…” Aku meraih tangan Hana,
dan meletakkannya di dada sebelah kiriku.
“Kau akan tetap ada disini
selamanya…”
“Ya, aku akan tetap disini
selamanya… Aku senang kau mengingatku tepat pada waktunya… Aku harus pergi…”
Hana mundur beberapa langkah. Entah kenapa, aku seperti membeku di tempat.
Hatiku ingin sekali mencegah Hana pergi, tapi kaki ku tiba – tiba kaku.
Hana semakin menjauh, “Selamat
tinggal Gikwang… Tolong jaga buku biru itu dan boneka beruang yang aku berikan
padamu…” Ketika Hana menitihkan air mata, wujudnya lenyap, bagaikan potongan –
potongan kecil kertas putih yang terbang diterpa angin.
“Ha-Hanaa…” Aku jatuh bersimpuh dan hanya
mampu memanggil Hana agar ia kembali.
***
“Hey, Gikwang! Ayo bangun!”
Gikwang mengerjapkan matanya.
“Bangun! Kau pikir ini sudah jam
berapa, hah?”
Bentakkan Yoseob sukses membangunkan
Gikwang.
“Oh, dimana ini? Kamar? Lho, Yoseob?
Kau disini? Yoseob…” Tiba – tiba Gikwang memeluk Yoseob.
“Eh, apa – apaan ini? Lepaskan aku!”
Gikwang langsung melepaskan pelukannya.
“Kemana saja kau, Yoseob? Kenapa
tidak memberi kabar, hah?” tanya Gikwang.
“Kemana saja? Memangnya kau pikir
aku kemana?”
“Saat bersepeda di taman, kau
menghilang begitu saja dan tidak bisa dihubungi…”
“Bersepeda? Hey, bahkan sejak tadi
pagi kau belum bangun. Kapan kita bersepeda di taman?”
Gikwang terdiam memahami perkataan
Yoseob.
“Jadi sejak tadi pagi, aku masih
tertidur?”
“Tentu. Aku kesini karena ingin
memastikan keadaanmu. Dan benar saja, kau teridur sampai hari kembali malam…
Mengerikan sekali…”
“Aku tertidur seharian penuh?”
“Iya. Apa kau bermimpi buruk, hah?
Sejak tadi aku memperhatikan ekspresi wajahmu berubah – ubah. Awalnya
tersenyum, lalu tampak kesal, kemudian berubah lagi menjadi serius dan
penasaran. Pada akhirnya kau menangis hingga menitihkan air mata…” jelas Yoseob
panjang lebar.
“Jadi itu semua mimpi… Eh, Yoseob, apa kau
kenal Hana? Kim Hana?”
“Kim Hana? Em, aku pernah dengar namanya? Apa
dia gadis culun berambut keriting?”
“Ceritakan dimana dan kapan kau
melihatnya!”
“Dia teman sekelas kita ketika SMA…
Tapi aku tidak yakin dimana dia sekarang…”
Seketika itu Gikwang turun dari
tempat tidur dan berlari mencari buku berwarna biru muda dilemari.
“Ada… Benda ini benar – benar ada…”
Gikwang beralih menuju kolong meja. Lagi, ia menemukan sebuah boneka beruang
kecil berwarna coklat.
“Sejak kapan kau punya benda – benda
seperti itu?” tanya Yoseob tidak percaya.
“Sejak semalam, ketika aku bertemu
Kim Hana…”
***
Seorang gadis berambut panjang tersentak
dan langsung bangun dari tidurnya. Napasnya terengah, jantungnya berdegup
kencang, layaknya orang yang sedang lari mengelilingi lapangan. Keringat dingin
bercucuran dari dahi mulusnya, mata indahnya masih terlihat kemerahan. Berusaha
ia atur napasnya seraya memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa nyeri.
“A-aku…?!” serunya terbata dengan nada
bertanya-tanya.
Ia lalu menatap jam yang tertata rapi
disebelah foto kelulusan SMA-nya. Ia masih tak menyangka dan mengambil foto
dirinya yang masih culun dengan rambut keriting sebahu. Tertera nama Kim Hana
di foto itu.
Kemudian, ia beralih ke buku biru
yang semalam ia letakkan di sebelah bantalnya.
“Lho? Bukunya? Dimana bukunya?” Ia
tampak panik mencari buku berwarna biru muda itu. Buku yang selama ini ia
simpan rapat – rapat dan sangat rahasia itu kini menghilang. Baginya, buku itu
penuh dengan memori berharga mengenai seseorang.
“Boneka? Bonekanya kemana?” Ia
bangkit dari tempat tidur. Mencari keseluruh penjuru kamar. Boneka beruang
kecil berwarna coklat itu juga menghilang, bersamaan dengan buku biru muda.
“Hah?! Apa ini karena semalam…?
Tidak, itu hanya mimpi. Tidak mungkin!” Gadis itu hanya geleng – geleng kepala,
mengingat semalam ia bermimpi memberikan benda itu pada Lee Gikwang, idola
sekaligus cinta pertamanya semasa SMA.
~TAMAT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar